Pada 596, di usia 25 tahun, Muhammad menikah dengan Khadijah yang
berusia 40 tahun. Pernikahan keduanya berlangsung bahagia hingga
membuahkan dua orang putra: Qasim dan Abdullah, dan empat orang putri:
Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah Az Zahra. Dalam
perjalananya, semua putra Muhammad meninggal saat masih kecil.
Muhammad menghidupi keluarganya dengan berdagang. ‘Tak salah beliau
amat memuliakan profesi yang satu ini. Beliau bahkan berkata,
“Sebaik-baik pekerjaan adalah pekerjaan seorang pria dengan tangannya
dan setiap jual beli (perdagangan) yang mabrur.”
Muhammad juga menghiasi keluarganya dengan akhlak yang baik:
perkataan lemah-lembut, kerja keras, kejujuran, dan lainnya. Tidak
pernah sekalipun dia mencontohkan keluarganya kebiasaan buruk: meminum khamr, salah satunya. Padahal kebiasaan itu umum di kalangan warga Quraisy Mekkah kala itu yang masih jahiliyah.
Yang menarik, Muhammad juga menghindarkan keluarganya dari pemahaman
kuat warga Quraisy Mekkah kala itu, yaitu menyembah berhala. Bahkan
beliau melarang untuk memakan daging hewan yang disembahkan untuk
berhala.
Selain akhlak dan perilaku yang baik, Muhammad juga dikaruniai
kemampuan untuk mengambil keputusan. Itu terbukti pada peristiwa
renovasi ka’bah saat usia beliau menginjak 35 tahun.
Ka’bah kala itu masih berupa bangunan susunan batu setinggi sembilan
hasta (siku manusia dewasa), lebih tinggi dari manusia. Bentuknya yang
tanpa atap membuat banyak pencuri yang mengambil isi dalam ka’bah.
Dengan keadaan seperti itu, bangunan ka’bah menjadi rapuh karena sering
dimanjati.
Banjir yang terjadi di Mekkah semakin membuat Ka’bah rapuh. Para
petinggi kaum Quraisy pun sepakat untuk merenovasi bangunan peninggalan
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail itu.
Dimulailah renovasi Ka’bah di bawah pengawasan arsitek asal Romawi
bernama Baqum. Dana pembangunan disepakati hanya dari yang baik-baik,
bukan dari dana pelacuran, dana sistem rente (riba), dan dana dari harta
rampasan.
Tatkala pembangunan sampai pada bagian Hajar Aswad, para petinggi
kaum Quraisy berdebat perihal siapa yang berhak mengangkat dan
memindahkannya. Perdebatan berlangsung hingga berhari-hari, bahkan
meruncing ke perang, pertumpahan darah.
Ternyata ditakdirkan: orang yang berhak mengangkat Hajar Aswad adalah
Muhammad. Namun Muhammad mengambil sebuah keputusan yang sangat bijak:
beliau meminta sebuah selendang lalu meletakkan Hajar Aswad di atasnya.
Muhammad kemudian menyuruh para petinggi kaum Quraisy untuk
masing-masing memegang ujung selendang dan mengangkatnya bersama-sama.
Saat akan tiba di tempatnya, Muhammad mengambil Hajar Aswad itu dan
menaruhnya pada tempatnya semula.
Begitulah peristiwa renovasi Ka’bah sehingga menjadi seperti yang
kita lihat saat ini: bangunan setinggi 15 hasta. Pun kemudian dilakukan
lagi beberapa renovasi oleh generasi selanjutnya.
Referensi: Buku Sirah Nabawiyah, karya Syaikh Safiyyurrahman Al Mubarakfury.