“Aku ini orang yang sederhana sekali. Aku nggak perlu macam-macam. Kebutuhanku cuma kerjaku!” (Pramoedya Ananta Toer)
Pada 1979, Pramoedya Ananta Toer (Pram) bebas dari hukuman penjara
akibat keterkaitannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dia kembali
kepada keluarganya di rumahnya di jalan Multikarya II no. 26, Utan
Kayu, Jakarta Timur. Namun Pram belum bebas sepenuhnya, dia dijadikan
tahanan rumah sampai 1992 dan wajib melapor sekali seminggu ke Kodim
Jakarta Timur. Cibiran dan teror juga kerap diterimanya dari orang-orang
sekitar yang menganggapnya komunis. Makanya di tahun-tahun awal bebas,
dia jarang keluar rumah, pun ke teras rumah. “Aku nggak bisa keluar.
Keluar berarti menambah kemungkinan diteror,” kata Pram.
Pada 1980, dua buku yang ditulisnya di Pulau Buru berjudul Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa diterbitkan oleh Hasta Mitra. Lanjut pada 1982 dan 1985, terbit pula buku Gadis Pantai dan buku ketiga Pulau Buru berjudul Jejak Langkah. Namun, Pemerintahan Orde Baru Soeharto membredel buku-buku itu. Atas pembredelan buku-buku Pram, Wakil Presiden Adam Malik berkata kepada Pram, “Wah, kalau Suharto saja sudah melarang, jangankan kamu Pram, saya sendiri bisa ditembaknya”. Pram menatap Adam Malik getir, dalam hati ia berkata “Saya harus bertahan terhadap jaman yang ‘tak benar ini”.
Atas pertolongan seorang Australia bernama Max Lane, naskah-naskah tulisan Pram dapat terbit di banyak negara di luar Indonesia dengan ragam bahasa, di antaranya Malaysia dan Belanda, sehingga harapan Pram untuk mendapatkan uang dan menyambung hidup pun masih ada. “Karya saya sudah diterjemahkan ke ragam bahasa, tapi saya tidak pernah dihargai di dalam negeri Indonesia,” kata Pram.
Pram juga berencana membagi-bagikan sebagian honorarium dari buku-bukunya yang terbit di luar negeri itu kepada teman-teman eks-Pulau Burunya yang telah memudahkannya menulis di dalam penjara. Walau pun untuk itu, Pram harus bersabar dan berjuang sampai bertahun-tahun. “Belanda itu gila juga. Sudah cetakan ketiga, uangnya nggak ada juga,” kata Pram. Lain lagi Malaysia yang mencetak 15 ribu buku, tapi mengaku cuma tiga ribu buku. Pram pun menuntut haknya atas sisa cetakan; bahkan sampai ke pengadilan meskipun harus dengan susah-payah menyewa pengacara. “Yang wajar saja. Saya minta honorarium dari jumlah cetak yang ada. Itu saja. Harga buku enam dollar dan saya dapat sepuluh persen,” kata Pram. Selain dari buku, Pram juga terkadang mendapatkan amplop dari hasil wawancara, tapi itu sangat sedikit sekali dan bahkan mengherankannya. Pram berkata, “Heran, kok jadi begini saya sekarang, jadi penerima amplop!”
Tinggal di rumah terus membuat pikiran Pram tertekan. Dia pun menghibur diri dengan terus menulis dan mendokumentasikan berita-berita penting dari koran (klipping). Pram memang sedang merencanakan pembuatan buku Ensiklopedia Indonesia. Pikiran Pram semakin tertekan ketika keadaan ekonomi keluarganya menyempit, terlebih setelah dia membiayai pernikahan tiga putrinya dalam waktu berdekatan. Di umurnya yang sudah 60-an, dia merasa tidak bisa lagi bekerja, apalagi beberapa penyakit sudah menggerogoti tubuhnya, di antaranya diabetes. Berat badan Pram terus merosot hingga sangat kurus sekali.
Pada 1987, Pram dirundung kesedihan mendalam. Moedigdo (Om Dig), paman yang dicintainya, meninggal dunia. “Aku malu sama Tante (istri Om Dig). Aku belum bisa membalas kebaikannya,” kata Pram. Saat pertama kali ke Jakarta pada 1942, Pram dan adiknya Prawito menumpang di rumah Om Dig di daerah Gang Sawo, Kemayoran. Om Dig pula yang berjasa memasukkan Pram ke sekolah Taman Siswa sehingga kemampuan menulis Pram berkembang. Kecintaan Pram terhadap Om Dig dibuktikannya saat terakhir menjenguk saudara kandung dari bapaknya itu, Pram mencium kaki Om Dig dan memberikan uang kepada tantenya.
Pada 1988, buku keempat Pulau Buru berjudul Rumah Kaca terbit. Di tahun yang sama, Pram juga mendapatkan penghargaan PEN/Barbara Goldsmith Freedom to Write Award dan The Fund for Free Expression Award dari Amerika Serikat setahun kemudian. Dari situ, Pram mendapatkan uang yang cukup sehingga keadaan ekonomi keluarganya berangsur membaik. Menyusul pada 1992, Pram lagi-lagi mendapatkan English P.E.N Centre Award dari Inggris dan Stichting Wertheim Award dari Belanda. Dari situ, Pram memperoleh uang yang cukup untuk membangun sebuah rumah di daerah Citayam. Rumah itu dia peruntukkan untuk anaknya. Di Tahun 1992 pula, Pram sudah boleh keluar rumah karena status tahanannya telah berubah dari tahahan rumah menjadi tahanan negara.
Pada 1995, karya-karya Pram kembali diterbitkan: Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dan Arus Balik. Pram juga kembali memperoleh penghargaan Ramon Magsaysay Award for Journalism, Literature, and Creative Communication Arts dari Filipina. Prof. Wertheim asal Belanda yang memberikan penghargaan kepada Pram 1992 silam melarang Pram menerima Ramon Magsaysay Award karena diberikan oleh pihak anti-komunis; hadiah uangnya pun dari Amerika Serikat. Namun Pram yang individualis mengabaikan larangan Prof. Wertheim tersebut sehingga Prof. Wertheim kecewa berat terhadapnya. Dulu Pram banyak mengritik kapitalisme, sekarang hidupnya malah banyak dibiayai dari uang-uang para kapitalis. Dan Pram menyadari hal tersebut.
Pada 1999, seiring era reformasi di Indonesia, Pram terbebas penuh. Tak ada lagi status tahanan yang melekat pada dirinya. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahkan secara terbuka meminta maaf kepada Pram dan menawarkan ide rekonsiliasi. Dalam wawancaranya bersama majalah Tempo, Pram menganggap pernyataan maaf Gus Dur itu “cuma basa-basi…. Gus Dur mesti menempatkan lebih dulu posisi dia. Sekalipun kapasitas sebagai presiden, Gus Dur tak bisa minta maaf begitu saja…. Orang seperti saya menderita karena tiadanya hukum dan keadilan. Saya kira masalah ini urusan negara, menyangkut DPR dan MPR, tetapi mereka tidak bicara apa-apa. Itu sebabnya saya menganggapnya sebagai basa-basi,” kata Pram.
Seiring era reformasi pula, buku-buku lama Pram kembali dicetak ulang bahkan hingga ke dalam 42 bahasa dunia, selain beberapa buku barunya: Arok Dedes, Mangir, Larasati, Sebuah Roman Revolusi, Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer, dan Cerita dari Digul. Selain itu, Pram juga secara bebas melakukan perjalanan ke luar negeri pada tahun 2002 hingga 2004 untuk menerima penghargaan Doktor Honoris Causa dari Universitas Michigan, Chancellor’s Distinguished Honor Award dari Universitas California, Berkeley, Chevalier de l’Ordre des Arts et des Lettres Republic dari Prancis France dan 11th Fukuoka Asian Culture Prize dari Jepang. Pram juga dihargai oleh Majalah Time sebagai Asian Heroes.
Penghasilan dari kebebasan penerbitan buku-bukunya dan penghargaan yang diperolehnya dari dunia internasional dipergunakan Pram untuk membangun rumah tiga tingkat di jalan Warung Ulan no. 9, Bojong Gede, Bogor. Setelah membangun rumahnya itu, Pram berkata, “Rumah ini adalah bukti saya bisa melawan Orde Baru dengan kemenangan saya. Saya berhasil menjadi manusia ketika saya dibunuh berkali-kali”. Pram juga berkata, “Bahwa ketersingkiran dalam hidup harus dilawan dan dimenangkan.”
Pada 2005, Pram menyampaikan sejarahnya sebagai penulis kepada adiknya Koesalah. Pram menceritakan bahwa dia mulai mengarang sejak kelas lima SD. Dia menulis karena malu berbicara. Tulisannya tentang resep dan khasiat obat-obatan dalam bahasa Indonesia. Tulisan itu dikirim Pram ke penerbit Tan Koen Swie tapi ‘tak pernah ada kabar. Tulisan pertama Pram yang dipublikasikan adalah Ke Mana di majalah Panji Pustaka milik Balai Pustaka. Saat tulisan pertamanya tersebut dipublikasikan, Pram merasa dunia di genggamannya dan dia merasa menulis itu menyenangkan.
Selanjutnya, Pram terus menulis melahirkan karya demi karya. Dia terus menulis untuk hidup dan menghidupi. Terlebih setelah kedua orangtuanya meninggal dunia, dia harus menjadi kepala keluarga atas adik-adiknya. Selain menulis karya sendiri, Pram juga menerjemahkan karya-karya orang lain, seperti Lode Zelins, Maxim Gorky, Leo Tolstoy dan lainnya. Ada dua penulis yang menjadi inspirasi Pram: John Steinbeck dan I Njoman Pandji Tisna.
Pram juga mengatakan bahwa dia sangat puas sebagai penulis. Karya-karyanya sudah diterjemahkan ke-42 bahasa, terakhir bahasa Yunani yang belum ada menyamai. Terkait kritik atas tulisannya, Pram menilainya sebagai hal biasa. “Tulisan itu untuk umum, silahkan kalau mau menilai,” kata Pram. Beberapa penulis yang pernah mengritik tulisan Pram di antaranya Mochtar Lubis, Taufiq ismail dan Rosihan Anwar.
Pada 30 April 2006, Pram menghembuskan nafas terakhirnya sebagai manusia. Dia tutup usia di rumah sakit Santa Carolus. Oleh keluarga, Pram kemudian dimakamkan di kompleks Pemakaman Umum Karet Bivak Blok AA 1, Jakarta Pusat dan tidak memenuhi keinginan Pram agar jasadnya dibakar dan abunya ditaburkan. Satu hal yang belum diraih Pram dalam hidupnya adalah hadiah nobel. Padahal dia secara tersirat sangat mendambakannya, begitu pula orang-orang yang mendukungnya. Setelah kepergian Pram, karya-karyanya masih memberikan kehidupan bagi keluarganya dalam bentuk royalti. Sebagaimana kata Pram sendiri, “Buku saya memiliki kehidupannya sendiri.”
Referensi: Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, oleh Koesalah Soebagyo Toer; Pramoedya Ananta Toer Individualis Tulen, oleh Ajip Rosidi; Biography of Pramoedya Ananta Toer, oleh James R. Rush; Pramoedya Ananta Toer, oleh Anton DH; Nyanyi Sunyi Pram, oleh Fachri Salam.
Pram (foto: In-Docs.Org) |
Pada 1980, dua buku yang ditulisnya di Pulau Buru berjudul Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa diterbitkan oleh Hasta Mitra. Lanjut pada 1982 dan 1985, terbit pula buku Gadis Pantai dan buku ketiga Pulau Buru berjudul Jejak Langkah. Namun, Pemerintahan Orde Baru Soeharto membredel buku-buku itu. Atas pembredelan buku-buku Pram, Wakil Presiden Adam Malik berkata kepada Pram, “Wah, kalau Suharto saja sudah melarang, jangankan kamu Pram, saya sendiri bisa ditembaknya”. Pram menatap Adam Malik getir, dalam hati ia berkata “Saya harus bertahan terhadap jaman yang ‘tak benar ini”.
Atas pertolongan seorang Australia bernama Max Lane, naskah-naskah tulisan Pram dapat terbit di banyak negara di luar Indonesia dengan ragam bahasa, di antaranya Malaysia dan Belanda, sehingga harapan Pram untuk mendapatkan uang dan menyambung hidup pun masih ada. “Karya saya sudah diterjemahkan ke ragam bahasa, tapi saya tidak pernah dihargai di dalam negeri Indonesia,” kata Pram.
Pram juga berencana membagi-bagikan sebagian honorarium dari buku-bukunya yang terbit di luar negeri itu kepada teman-teman eks-Pulau Burunya yang telah memudahkannya menulis di dalam penjara. Walau pun untuk itu, Pram harus bersabar dan berjuang sampai bertahun-tahun. “Belanda itu gila juga. Sudah cetakan ketiga, uangnya nggak ada juga,” kata Pram. Lain lagi Malaysia yang mencetak 15 ribu buku, tapi mengaku cuma tiga ribu buku. Pram pun menuntut haknya atas sisa cetakan; bahkan sampai ke pengadilan meskipun harus dengan susah-payah menyewa pengacara. “Yang wajar saja. Saya minta honorarium dari jumlah cetak yang ada. Itu saja. Harga buku enam dollar dan saya dapat sepuluh persen,” kata Pram. Selain dari buku, Pram juga terkadang mendapatkan amplop dari hasil wawancara, tapi itu sangat sedikit sekali dan bahkan mengherankannya. Pram berkata, “Heran, kok jadi begini saya sekarang, jadi penerima amplop!”
Tinggal di rumah terus membuat pikiran Pram tertekan. Dia pun menghibur diri dengan terus menulis dan mendokumentasikan berita-berita penting dari koran (klipping). Pram memang sedang merencanakan pembuatan buku Ensiklopedia Indonesia. Pikiran Pram semakin tertekan ketika keadaan ekonomi keluarganya menyempit, terlebih setelah dia membiayai pernikahan tiga putrinya dalam waktu berdekatan. Di umurnya yang sudah 60-an, dia merasa tidak bisa lagi bekerja, apalagi beberapa penyakit sudah menggerogoti tubuhnya, di antaranya diabetes. Berat badan Pram terus merosot hingga sangat kurus sekali.
Pada 1987, Pram dirundung kesedihan mendalam. Moedigdo (Om Dig), paman yang dicintainya, meninggal dunia. “Aku malu sama Tante (istri Om Dig). Aku belum bisa membalas kebaikannya,” kata Pram. Saat pertama kali ke Jakarta pada 1942, Pram dan adiknya Prawito menumpang di rumah Om Dig di daerah Gang Sawo, Kemayoran. Om Dig pula yang berjasa memasukkan Pram ke sekolah Taman Siswa sehingga kemampuan menulis Pram berkembang. Kecintaan Pram terhadap Om Dig dibuktikannya saat terakhir menjenguk saudara kandung dari bapaknya itu, Pram mencium kaki Om Dig dan memberikan uang kepada tantenya.
Pada 1988, buku keempat Pulau Buru berjudul Rumah Kaca terbit. Di tahun yang sama, Pram juga mendapatkan penghargaan PEN/Barbara Goldsmith Freedom to Write Award dan The Fund for Free Expression Award dari Amerika Serikat setahun kemudian. Dari situ, Pram mendapatkan uang yang cukup sehingga keadaan ekonomi keluarganya berangsur membaik. Menyusul pada 1992, Pram lagi-lagi mendapatkan English P.E.N Centre Award dari Inggris dan Stichting Wertheim Award dari Belanda. Dari situ, Pram memperoleh uang yang cukup untuk membangun sebuah rumah di daerah Citayam. Rumah itu dia peruntukkan untuk anaknya. Di Tahun 1992 pula, Pram sudah boleh keluar rumah karena status tahanannya telah berubah dari tahahan rumah menjadi tahanan negara.
Pada 1995, karya-karya Pram kembali diterbitkan: Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dan Arus Balik. Pram juga kembali memperoleh penghargaan Ramon Magsaysay Award for Journalism, Literature, and Creative Communication Arts dari Filipina. Prof. Wertheim asal Belanda yang memberikan penghargaan kepada Pram 1992 silam melarang Pram menerima Ramon Magsaysay Award karena diberikan oleh pihak anti-komunis; hadiah uangnya pun dari Amerika Serikat. Namun Pram yang individualis mengabaikan larangan Prof. Wertheim tersebut sehingga Prof. Wertheim kecewa berat terhadapnya. Dulu Pram banyak mengritik kapitalisme, sekarang hidupnya malah banyak dibiayai dari uang-uang para kapitalis. Dan Pram menyadari hal tersebut.
Pada 1999, seiring era reformasi di Indonesia, Pram terbebas penuh. Tak ada lagi status tahanan yang melekat pada dirinya. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahkan secara terbuka meminta maaf kepada Pram dan menawarkan ide rekonsiliasi. Dalam wawancaranya bersama majalah Tempo, Pram menganggap pernyataan maaf Gus Dur itu “cuma basa-basi…. Gus Dur mesti menempatkan lebih dulu posisi dia. Sekalipun kapasitas sebagai presiden, Gus Dur tak bisa minta maaf begitu saja…. Orang seperti saya menderita karena tiadanya hukum dan keadilan. Saya kira masalah ini urusan negara, menyangkut DPR dan MPR, tetapi mereka tidak bicara apa-apa. Itu sebabnya saya menganggapnya sebagai basa-basi,” kata Pram.
Seiring era reformasi pula, buku-buku lama Pram kembali dicetak ulang bahkan hingga ke dalam 42 bahasa dunia, selain beberapa buku barunya: Arok Dedes, Mangir, Larasati, Sebuah Roman Revolusi, Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer, dan Cerita dari Digul. Selain itu, Pram juga secara bebas melakukan perjalanan ke luar negeri pada tahun 2002 hingga 2004 untuk menerima penghargaan Doktor Honoris Causa dari Universitas Michigan, Chancellor’s Distinguished Honor Award dari Universitas California, Berkeley, Chevalier de l’Ordre des Arts et des Lettres Republic dari Prancis France dan 11th Fukuoka Asian Culture Prize dari Jepang. Pram juga dihargai oleh Majalah Time sebagai Asian Heroes.
Penghasilan dari kebebasan penerbitan buku-bukunya dan penghargaan yang diperolehnya dari dunia internasional dipergunakan Pram untuk membangun rumah tiga tingkat di jalan Warung Ulan no. 9, Bojong Gede, Bogor. Setelah membangun rumahnya itu, Pram berkata, “Rumah ini adalah bukti saya bisa melawan Orde Baru dengan kemenangan saya. Saya berhasil menjadi manusia ketika saya dibunuh berkali-kali”. Pram juga berkata, “Bahwa ketersingkiran dalam hidup harus dilawan dan dimenangkan.”
Pada 2005, Pram menyampaikan sejarahnya sebagai penulis kepada adiknya Koesalah. Pram menceritakan bahwa dia mulai mengarang sejak kelas lima SD. Dia menulis karena malu berbicara. Tulisannya tentang resep dan khasiat obat-obatan dalam bahasa Indonesia. Tulisan itu dikirim Pram ke penerbit Tan Koen Swie tapi ‘tak pernah ada kabar. Tulisan pertama Pram yang dipublikasikan adalah Ke Mana di majalah Panji Pustaka milik Balai Pustaka. Saat tulisan pertamanya tersebut dipublikasikan, Pram merasa dunia di genggamannya dan dia merasa menulis itu menyenangkan.
Selanjutnya, Pram terus menulis melahirkan karya demi karya. Dia terus menulis untuk hidup dan menghidupi. Terlebih setelah kedua orangtuanya meninggal dunia, dia harus menjadi kepala keluarga atas adik-adiknya. Selain menulis karya sendiri, Pram juga menerjemahkan karya-karya orang lain, seperti Lode Zelins, Maxim Gorky, Leo Tolstoy dan lainnya. Ada dua penulis yang menjadi inspirasi Pram: John Steinbeck dan I Njoman Pandji Tisna.
Pram juga mengatakan bahwa dia sangat puas sebagai penulis. Karya-karyanya sudah diterjemahkan ke-42 bahasa, terakhir bahasa Yunani yang belum ada menyamai. Terkait kritik atas tulisannya, Pram menilainya sebagai hal biasa. “Tulisan itu untuk umum, silahkan kalau mau menilai,” kata Pram. Beberapa penulis yang pernah mengritik tulisan Pram di antaranya Mochtar Lubis, Taufiq ismail dan Rosihan Anwar.
Pada 30 April 2006, Pram menghembuskan nafas terakhirnya sebagai manusia. Dia tutup usia di rumah sakit Santa Carolus. Oleh keluarga, Pram kemudian dimakamkan di kompleks Pemakaman Umum Karet Bivak Blok AA 1, Jakarta Pusat dan tidak memenuhi keinginan Pram agar jasadnya dibakar dan abunya ditaburkan. Satu hal yang belum diraih Pram dalam hidupnya adalah hadiah nobel. Padahal dia secara tersirat sangat mendambakannya, begitu pula orang-orang yang mendukungnya. Setelah kepergian Pram, karya-karyanya masih memberikan kehidupan bagi keluarganya dalam bentuk royalti. Sebagaimana kata Pram sendiri, “Buku saya memiliki kehidupannya sendiri.”
Referensi: Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, oleh Koesalah Soebagyo Toer; Pramoedya Ananta Toer Individualis Tulen, oleh Ajip Rosidi; Biography of Pramoedya Ananta Toer, oleh James R. Rush; Pramoedya Ananta Toer, oleh Anton DH; Nyanyi Sunyi Pram, oleh Fachri Salam.