Ada beberapa kebijakan pemerintah yang sangat kontras. Padahal sedari awal sudah dikobarkan pondasinya: efisiensi.
Pada akhir pemerintahan Jokowi periode pertama, misalnya, ada kebijakan: semua instansi dilarang membangun gedung baru.
Jangankan membangun, merenovasi pun dilarang. Demi efisiensi. Setiap instansi diharapkan memanfaatkan saja gedung-gedung yang sudah ada dan tersedia.
Itu bagus. Faktanya memang masih banyak gedung-gedung instansi yang tidak fungsional.
Kontrasnya, di Pemerintahan Jokowi periode dua: IKN dibangun. Gedung baru, luas, anggarannya wow ladde! Sampai trilliunan. Bahkan sampai sekarang belum fungsional.
Sebagian masyarakat protes waktu itu. Cuma ndak sampai turun massif ke jalan. Apalagi Pemerintah berhasil mengcounternya dengan menggerakkan buzzer dan tokoh masyarakat Dayak.
*****
Pada Pemerintahan Prabowo periode pertama, kembali muncul kebijakan kontras yang pondasinya efisiensi: anggaran daerah dikurangi.
Pengurangannya sangat ekstrim, coy. Daerah yang biasanya dapat jatah tandon 1.300 liter, dikurangi jadi tandon 500 liter. Jauh! Sri Mulyani berkoar: daerah musti kreatif mencari uang.
Beberapa daerah merespon kebijakan ekstrim itu juga dengan ekstrim: manaikkan tarif PBB ratusan persen. Akhirnya, rusuhlah Pati dan Bone.
Kontrasnya, Pemerintah malah memberi kado istimewa kepada legislator DPR: kenaikan tunjangan. Kado yang disambut joget-joget Ge Mu Fa Mi Re oleh banyak legislator. Joget-joget yang bahkan berlanjut sampai ke story medsos milik personal legislator.
Kali ini bukan sebagian masyarakat yang protes. Tapi masif: buruh, mahasiswa, ojol, anak SMA, dll. Mereka serentak turun ke jalan. Skalanya nasional.
Meskipun anggaran IKN antara langit dengan sumur bor dibandingkan anggaran kenaikan tunjangan legislstor, tapi yang terakhir itulah yang justru menyentuh hati masyarakat. Mereka bergerak.
Dan sampailah kita di titik ini. Beberapa anak negeri mati.