Senin, 09 November 2015

Patallassang, Daerah Rawan yang Kini Menjadi Kota Idaman

Lapangan Golf Padivalley
Daeng Jarung 'tak mempan disambit parang. Dia tetap bertahan sambil meronta. Hingga massa membawakannya sebongkah batu besar dan menghantamkan ke kepalanya. Daeng Jarung pun meninggal dengan mengenaskan.

Sejak saat itu, 'tak ada lagi perampokan di daerah Patallassang. Yang tersisa hanyalah cerita kelam tentang Daeng Jarung dan komplotannya. Dan bagaimana cara mereka merampok.

Suardi (25 tahun), warga asli Patallassang, menceritakan dengan lancar aksi perampokan komplotan Daeng Jarung, "Datangi baik-baik minta satu ekor ayam. Kalau diacuhkangi, tunggumi malam-malam, satu kandang ayam hilang."

Tapi itu cerita lalu. Patallassang kini telah berubah penuh damai. Pemerintah Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, bahkan memroyeksikan daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Maros itu sebagai kota idaman.

Lokasi dan jalanan menuju kota idaman sudah ada, tinggal menggaet investor untuk pembangunannya ke depan. Sebagai langkah awal, akan dikembangkan terlebih dahulu Kawasan Industri Gowa (KIWA). Sebelumnya juga telah dibangun Lapangan Golf Padivalley dengan segala fasilitas di dalamnya.

*****

Ahad kemarin, 8 Nopember 2015, saya menyempatkan waktu bersepeda ke daerah Patallassang. Dari rumah di Sudiang, Makassar, saya mengayuh sepeda dengan jarak tempuh sekira 50 kilometer hingga pulang kembali ke rumah.

Jangan kagum! Apa yang saya lakukan itu belumlah seberapa. Pada 1990-an, ketika jalanan di Patallassang masih tanah merah dan belum beraspal mulus seperti sekarang, para orangtua di sana sudah mengayuh sepeda mereka tiap hari menuju Pasar Terong Makassar guna menjajakan hasil kebun mereka.

Mereka mengayuh sepeda mulai pukul 01.00 malam karena pasar dimulai pada subuh hari. Selepas hari pasar, mereka pun kembali ke rumah mereka. Begitulah aktifitas mereka setiap hari. Luar biasa!

Patallassang yang dalam bahasa Indonesia berarti penghidupan, semoga betul-betul menjadi penghidupan dan kota idaman bagi warganya dan warga di daerah sekitarnya. Apapun perkembangannya.

Selasa, 03 November 2015

Kemarau Senja di Taman Prasejarah Leangleang

Pada tulisan awal Januari 2015 silam, saya sudah membahas profil Taman Prasejarah Leangleang. Bagaimana keindahannya, sejarahnya, dan hal-hal lain dalam kacamata saya.

Akhir Oktober kemarin, saya kembali mengunjungi tempat yang saya lebih suka menamainya Taman Batu itu. Di senja hari, di bawah terik matahari musim kemarau.

Ada perbedaan mendasar antara mengunjungi Taman Prasejarah Leangleang saat musim hujan dengan mengunjunginya saat musim kemarau:

Pertama, suasana taman saat musim hujan lebih hijau dan pepohonan juga tersaji rindang. Di musim kemarau, rumput-rumput mengering, beberapa pohon habis daunnya. Bebukitan pun terlihat sangat gersang.

Kedua, 'tak ada air sungai saat kemarau. Otomatis, perjalanan mengelilingi taman pun tanpa ditemani suara gemuruh air yang mengalir.

Ketiga, ini yang menarik, saat musim hujan warna bebatuan menjadi hitam, sedangkan saat musim kemarau warna batu lebih cerah dan beragam.

Berikut adalah foto-foto Taman Prasejarah leangleang saat musim kemarau:








Foto-foto Taman Prasejarah Leangleang saat musim hujan bisa Anda lihat di blog ini pada arsip tulisan Januari 2015.