Senin, 31 Maret 2014

Apple itu menjual seni, bukan teknologi

Olivier Lefebvre
Harga IPhone5 masih kisaran Rp 7 juta. Mahal. Saya sebenarnya tidak punya masalah dengan harganya, cuma uangnya. Heh...

Benar kata teman, "Apple itu menjual seni, bukan teknologi." Tepatnya mungkin seni berteknologi. Seninya itu yang bikin mahal.

Tidak mungkin Steve Jobs mampu menciptakan IPod, IPhone, dan IPad jika dia tidak memiliki jiwa seni. Ah, hanya pikiran Jobs di antara lantunan tembang Bob Dylan yang bisa menjelaskannya.

Beda dengan harga IPhone5, harga langsat mulai turun drastis. Awalnya Rp 20 ribu per kilogram, kini sisa Rp 5 ribu. Begitu pula durian. Ah, apple, apel maksud saya, memang buah yang ekslusif, mahal, dan elegan. Heh...

Sebagai penutup tulisan tidak jelas ini, berikut kata-kata Steve Jobs di Ruang Meeting kantor Apple Corporation, dihadapan ratusan karyawan, yang saya ambil dari film Jobs keluaran 2013:

"Saya sangat senang berada di sini. Kami punya sesuatu yang sangat istimewa untuk ditunjukkan kepada kalian semua. 

Di seluruh lini, IMac dan Powerbook, kita telah menjual lebih dari tiga juta unit tahun ini. Baiklah itu saja.

Oh, masih ada satu lagi. Saya harus memberi tahu sesuatu yang luar biasa kepada kalian. Sesuatu yang belum pernah dilihat oleh orang lain di dunia ini.

Johnny (desainer Apple), saya sendiri, dan sebuah tim kecil, telah bekerja keras untuk sebuah proyek rahasia, seperti kebiasaanku selama ini.

Perangkat yang akan saya perkenalkan pada kalian ini, akan merevolusi keseluruhn industri. Ia adalah sebuah perangkat pemutar musik.

Apa yang ia (perangkat itu) representasikan sama pentingnya dengan fungsinya. Ia adalah sebuah alat, untuk hati. Dan saat kalian bisa menyentuh hati seseorang, itu 'tak terbatas. Jika saya bisa begitu pasti keren sekali.

Ia adalah alat pemutar musik. Ia adalah ribuan lagu di sakumu. Saya ingin memperkenalkan pada kalian pada IPod." 

Betul, gara-gara IPod, masa jaya walkman dan kaset habis. Industri musik pun berubah. IPod telah menjadi seni di atas seni.

Jobs, seni, dan Apple memang telah menjadi satu kesatuan. Hal itulah yang menginspirasi Olivier Lefebvre, senima Kanada, menyusun 3.500 buah apel untuk membentuk wajah Jobs. Dia begitu kagum dengan seni berteknologi ala Jobs.

Minggu, 30 Maret 2014

Flappy Bird dan Gravitasi Bumi

Menurut Ust. Bendri, penceramah yang sering meneliti keadaan masyarakat di lapangan, salah satu ciri anak alay itu boros usia. Maksudnya: secara biologis usianya sudah tua, tapi secara psikologis masih kayak anak-anak.

Contoh: usia sudah 30-an, mainnya Flappy Bird. Hehehe..., kayak penulis. Skor tertinggi pembaca berapa? Skor tertinggi penulis 94. Target ke depannya tembus 100. Heh...

Flappy Bird game biasa sebenarnya. Tampilannya juga jadul, mirip-mirip Mario Bros. Tapi penulis sangat suka pelajaran moral dari game itu: jika kita terus berusaha dan 'tak pernah berhenti mencoba, kita akan mendapatkan yang terbaik. Terbaik di sini tentunya skor tertinggi.

"Kenapa bisa?" Penulis paling benci dengan pertanyaan seperti ini. Apalagi kalau kejadiannya: jatuh dari motor. Ya, siapa juga yang mau jatuh dari motor?

Tapi kalau ke depannya Tuhan menakdirkan penulis jatuh dari motor, dan Tuhan juga menakdirkan ada orang yang bertanya, "kenapa bisa?", penulis akan menjawab: saya hanyalah manusia biasa yang 'tak mampu melawan gravitasi bumi. Sama kayak burung di Flappy Bird kalau jatuh, dia tidak mampu melawan gravitasi bumi. Hehehe....