Selasa, 22 Januari 2013

Banda Aceh

Masjid Baiturrahman, Banda Aceh
Ini pengalaman lama, tapi 'tak apa saya menuliskannnya. Biar menjadi sejarah.

Pertengahan 2008, saya mengunjungi Banda Aceh. Pesawat Sriwijaya Air yang saya tumpangi memutar di atas pantai kemudian mendarat di bandara yang memang dekat dengan pantai.

Melihat pantai dari balik kaca pesawat, terbayang dalam pikiran saya kejadian 2004 silam: air bah melaju cepat dari pantai lalu menyapu semua daratan yang dicapainya, termasuk bandara yang akan saya pijak.

Pascagempa dan tsunami, bandara Sultan Iskandar Muda memang rusak berat. Banyak karyawan yang bekerja di situ menjadi korban. Pun demikian di wilayah Aceh lainnya. Keadaan itu abadi dalam dokumentasi media.

Saya dijemput oleh seorang teman yang telah menunggu dengan mobilnya. Saya pun diajaknya berjalan-jalan melihat kota Banda Aceh.

Kesunyian, itulah yang saya rasakan sepanjang perjalanan. Entahlah, apakah itu suasana traumatik pascagempa dan tsunami atau apa. Yang jelas, suasana betul-betul sunyi. Kata teman: "Memang begini Aceh kalau masih jam delapan pagi."

Ya, jam delapan pagi di Aceh sama suasananya seperti jam enam pagi di Makassar, aktifitas belum terlalu menggeliat. Wajar saja, letak Aceh di posisi paling barat Indonesia membuatnya paling terakhir didatangi matahari.

Pagi-pagi, warga Aceh biasanya ramai berkumpul di warung kopi. Menikmati kopi Aceh yang terkenal, bercerita sambil lalu atau sekadar membaca koran. Saya sempat menikmati kopi Aceh secangkir. Nikmat memang.

*****

Wajar jika Aceh disebut serambi Mekkah. Di jalanan-jalanan yang saya lalui, banyak terlihat masjid-masjid berukuran besar. Satu yang paling terkenal adalah Masjid Baiturrahman. Saya sholat Maghrib di masjid itu. 

Masjid itu menjadi penopang banyak warga ketika bencana terjadi. Di televisi, pemandangan itu begitu mengharukannya. Warga berkumpul dan berteriak-teriak menyebut Allah.

Kontras dengan kata teman saya: "Bagaimana bencana tidak terjadi, di situ (sambil menunjuk halaman masjid Baiturrahman yang besar) banyak muda-mudi pacaran tiap malam."

*****

Malam menjelang, mata saya silau melihat pemandangan di jalanan kota Banda Aceh. Puluhan kendaraan lalu-lalang dengan kencangnya. Sebuah motor terlihat melaju dengan gilanya. Pengemudinya seorang wanita berjilbab dengan dua boncengan teman perempuan di belakangnya yang juga berjilbab. Ketiganya tidak memakai helm.

Saya dan teman makan malam di sebuah warung seafood sederhana di pinggiran jalan. Di dinding warung itu, terpampang poster tim sepakbola kebanggaan warga Banda Aceh: Persiraja. Pelayan warung berkata: "Semua pemain yang di gambar itu meninggal dunia saat tsunami terjadi."

Selasa, 01 Januari 2013

Kehidupan John Lennon (1970 - 1980): Kebahagiaan dan Kematian

Yoko, Sean, dan John
Setelah The Beatles bubar pada 1970, John Lennon bersolo karir. Pesonanya sebagai seorang jenius di bidang musik tidak hilang. Beberapa karya diciptakannya dan mewarnai dunia. Lagu Give Peace a Change dan Imagine, contohnya, menjadi lagu persatuan komunitas kemanusiaan dan perdamaian di seluruh dunia; lagu Working Class Heroes menjadi lagu kebanggaan kaum buruh.

Dalam berkeluarga, John juga meraih kebahagiaan bersama Yoko. Terlebih setelah kelahiran buah hati mereka, Sean Lennon, pada 1975. Boleh dikata, bersama Yoko, perilaku John berubah drastis. 'Tak ada lagi perilaku hippies, John malah menjadi aktifis kemanusiaan: menolak Perang Vietnam, menyerukan perdamaian dunia. John juga sangat perhatian terhadap keluarga. Waktunya selalu dihabiskan bersama Yoko dan Sean.

John dan Yoko berpose telanjang
Cara-cara unik dilakukan John untuk mengabadikan kebahagiaannya bersama Yoko. Salah satunya berfoto bersama Yoko dengan pose telanjang. Dia mengundang fotografer Anne Leibovitz ke apartemennya kemudian mengambil beberapa gambar dimana keduanya telanjang bersama. Foto itu menjadi abadi sekaligus kontroversi. Sebagian foto itu telah dilelang di Balai Lelang Duke.

Hingga pada 1980, kebahagiaan itu berganti kematian. John ditembak mati penggemarnya bernama Mark David Chapman. Di depan apartemennya di New York; di depan istrinya yang sangat mencintainya. John tersungkur berlumur darah. Berita kematiannya segera tersebar ke seluruh Amerika Serikat, Inggris, dan seluruh dunia.

*****

Mark David Chapman
Mark David Chapman adalah warga Hawaii, Amerika Serikat, yang sangat menggemari grup musik rock ‘n roll The Beatles. Dia kemudian belajar main gitar dan bercita-cita untuk menjadi musisi. Namun, hidupnya berubah ketika dia menjadi penganut Kristen Fundamentalis. Dari penggemar The Beatles, Chapman berbalik menjadi pembencinya. Dia beranggapan The Beatles memberikan pengaruh buruk bagi masyarakat dunia, terutama anak muda.

Terkhusus John Lennon, Chapman menganggap pemikirannya sangat berbahaya bagi agama dan negara, seperti yang dituliskan John dalam lagu Imagine. Chapman kemudian mencetuskan niat gila: membunuh John Lennon. Lirik lagu Imagine dirubahnya, “Imagine John Lennon Dead,” rubah Chapman.

Langkah awal, Chapman terbang dari Hawaii menuju New York pada Sabtu, 6 Desember 1980. Dia kemudian menginap di tempat penginapan murah YMCA, sekira sembilan blok dari apartemen The Dakota, tempat John tinggal bersama istrinya, Yoko Ono, dan anaknya, Sean Lennon.

Chapman memulai aksinya dengan sering modar-mandir di depan apartemen John menggunakan taksi. Dia bahkan membual kepada Mark Snyder, supir taksi yang membawanya, bahwa dia adalah seorang teknisi suara yang menangani album rekaman John.

Minggu, 7 Desember 1980, Chapman kembali mondar-mandir di depan apartemen John. Dia bahkan berpindah tempat inap ke hotel Sheraton Centre yang jaraknya lebih dekat.

Senin sore, 8 Desember 1980, hari ketiga Chapman modar-mandir di depan apartemen John. Kali ini, dia tidak sendiri, dia bersama seorang fotografer amatir, Paul Goresh, yang juga penggemar John. “Saya sudah tiga hari keluyuran disini dan berharap dapat menjumpai Lennon dan meminta tandatangannya,” kata Chapman kepada Goresh.

Sekira pukul 17.00, John dan Yoko keluar dari apartemennya untuk pergi rekaman di studio Record Plant. Chapman mendekati John sambil menyodorkan album baru John, Double Fantasy. John menerimanya dan mencoretkan tandatangannya di atas sampul album itu. Goresh mengabadikan moment itu.

Chapman sangat gembira. “John Lennon menandatangani album saya. Tak seorang pun di Hawaii yang akan percaya kepada saya,” kata Chapman.

John saat menandatangani album Double Fantasy milik Chapman
 Selepas John dan Yoko pergi, Chapman dan Goresh masih berdiri di tempatnya. Lalu Goresh kemudian memutuskan untuk pulang. Chapman berusaha menahannya dan berkata, “John Lennon akan segera kembali, kau bisa meminta tanda tangannya.” Goresh menjawab bahwa dia akan minta tanda tangan John di lain hari. “Akan saya tunggu. Kau takkan tahu kapan kau bisa menjumpainya lagi,” kata Chapman.

John dan Yoko melakukan rekaman untuk lagu baru berjudul Walkin on Thin Ice yang akan dirilis awal tahun baru 1981. Single itu dinyanyikan oleh Yoko; John hanya mengiringinya dengan gitar. Keduanya juga melakukan wawancara dengan RKO radio hingga pukul 22.30 malam.

Selepas rekaman dan wawancara, John dan Yoko berencana untuk makan malam, namun tidak jadi karena John ingin sekali melihat anaknya Sean sebelum tidur. “Jangan! Kita pulang saja, soalnya saya mau melihat Sean sebelum tidur,” kata John. Keduanya kemudian pulang.

Mobil limousine sewaan mereka kembali ke apartemen pada pukul 22.50 malam. Limousine menepi di pinggir jalan. Yoko keluar dari mobil diiringi John. Saat keduanya berjalan dan mendekati pintu gerbang apartemen yang dijaga oleh seorang penjaga, Chapman yang telah lama menunggu memanggil John dengan sopan, “Mr. Lennon!” John berbalik dan Chapman pun melaksanakan niatnya.

Ketika John berbalik ke arahnya, Chapman mengarahkan pistol dengan kedua tangannya ke arah John dan menembaknya lima kali dari jarak dekat. Empat peluru bersarang di pundak John, satu meleset. John sempoyongan dan sempat berjalan enam langkah sambil berteriak, “Saya tertembak!” sebelum dia terjatuh. Tubuh John tergeletak berlumur darah.

Yoko histeris dan menyandarkan kepala John di tangannya. Chapman membuang senjatanya ke tanah yang kemudian ditendang jauh oleh penjaga pintu. “Apakah kau menyadari apa yang kau lakukan?” Tanya penjaga pintu kepada Chapman. “Saya baru saja menembak John Lennon,” jawab Chapman, tenang tapi kebingungan.

Lama kemudian, polisi datang atas panggilan penjaga pintu. Chapman menunggu dengan tenang sambil membaca novel klasik karangan J. D. Silinger, The Catcther in The Rye. Dua orang polisi menggeledah dan memborgol Chapman; dua polisi lainnya memeriksa tubuh John. “Tubuhnya bermandikan darah, semuanya merah. Orang ini sedang sekarat, lekas angkat!” Seru seorang polisi.

John yang setengah sadar lalu diangkat ke jok belakang mobil patroli polisi milik James Moran. “Tahukah siapa Anda?” Tanya Moran hendak menguji kesadaran John. John mengerang sambil menganggukkan kepalanya. Ketika Moran melarikan John ke Roosevelt Hospital yang berjarak 15 blok dari lokasi kejadian, Palma membuntutinya bersama Yoko.

Meskipun John tiba di rumah sakit tanpa detak jantung, tim dokter tetap berusaha menyelamatkan nyawanya menggunakan berbagai prosedur medis. Transfusi darah dan pemijatan jantung diusahakan untuk menyelamatkan jiwanya. Namun semua itu terlambat. John Lennon diumumkan meninggal dunia.

Disaat John dinyatakan telah meninggal dunia di Roosevelt Hospital, Chapman langsung ditangkap oleh petugas dan dibawa ke kantor polisi untuk diinterogasi. Anehnya, saat disuruh menuliskan namanya, Chapman menuliskan John Lennon sebagai namanya. Dia bahkan mengaku membunuh John karena mendapatkan wahyu.

Atas tindakannya, Chapman dihukumi 25 tahun penjara. Sementara Yoko harus berjuang hidup bersama Sean tanpa John. Hingga kini, Yoko tidak pernah memaafkan tindakan Chapman.

Referensi dan foto diambil dari pelbagai sumber.