Senin, 06 Agustus 2012

Kehidupan Pramoedya Ananta Toer (Episode 1979-2006): Menulis Sampai Mati

“Aku ini orang yang sederhana sekali. Aku nggak perlu macam-macam. Kebutuhanku cuma kerjaku!” (Pramoedya Ananta Toer)

Pram (foto: In-Docs.Org)
Pada 1979, Pramoedya Ananta Toer (Pram) bebas dari hukuman penjara akibat keterkaitannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dia kembali kepada keluarganya di rumahnya di jalan Multikarya II no. 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Namun Pram belum bebas sepenuhnya, dia dijadikan tahanan rumah sampai 1992 dan wajib melapor sekali seminggu ke Kodim Jakarta Timur. Cibiran dan teror juga kerap diterimanya dari orang-orang sekitar yang menganggapnya komunis. Makanya di tahun-tahun awal bebas, dia jarang keluar rumah, pun ke teras rumah. “Aku nggak bisa keluar. Keluar berarti menambah kemungkinan diteror,” kata Pram.

Pada 1980, dua buku yang ditulisnya di Pulau Buru berjudul Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa diterbitkan oleh Hasta Mitra. Lanjut pada 1982 dan 1985, terbit pula buku Gadis Pantai dan buku ketiga Pulau Buru berjudul Jejak Langkah. Namun, Pemerintahan Orde Baru Soeharto membredel buku-buku itu. Atas pembredelan buku-buku Pram, Wakil Presiden Adam Malik berkata kepada Pram, “Wah, kalau Suharto saja sudah melarang, jangankan kamu Pram, saya sendiri bisa ditembaknya”. Pram menatap Adam Malik getir, dalam hati ia berkata “Saya harus bertahan terhadap jaman yang ‘tak benar ini”.

Atas pertolongan seorang Australia bernama Max Lane, naskah-naskah tulisan Pram dapat terbit di banyak negara di luar Indonesia dengan ragam bahasa, di antaranya Malaysia dan Belanda, sehingga harapan Pram untuk mendapatkan uang dan menyambung hidup pun masih ada. “Karya saya sudah diterjemahkan ke ragam bahasa, tapi saya tidak pernah dihargai di dalam negeri Indonesia,” kata Pram.

Pram juga berencana membagi-bagikan sebagian honorarium dari buku-bukunya yang terbit di luar negeri itu kepada teman-teman eks-Pulau Burunya yang telah memudahkannya menulis di dalam penjara. Walau pun untuk itu, Pram harus bersabar dan berjuang sampai bertahun-tahun. “Belanda itu gila juga. Sudah cetakan ketiga, uangnya nggak ada juga,” kata Pram. Lain lagi Malaysia yang mencetak 15 ribu buku, tapi mengaku cuma tiga ribu buku. Pram pun menuntut haknya atas sisa cetakan; bahkan sampai ke pengadilan meskipun harus dengan susah-payah menyewa pengacara. “Yang wajar saja. Saya minta honorarium dari jumlah cetak yang ada. Itu saja. Harga buku enam dollar dan saya dapat sepuluh persen,” kata Pram. Selain dari buku, Pram juga terkadang mendapatkan amplop dari hasil wawancara, tapi itu sangat sedikit sekali dan bahkan mengherankannya. Pram berkata, “Heran, kok jadi begini saya sekarang, jadi penerima amplop!”

Tinggal di rumah terus membuat pikiran Pram tertekan. Dia pun menghibur diri dengan terus menulis dan mendokumentasikan berita-berita penting dari koran (klipping). Pram memang sedang merencanakan pembuatan buku Ensiklopedia Indonesia. Pikiran Pram semakin tertekan ketika keadaan ekonomi keluarganya menyempit, terlebih setelah dia membiayai pernikahan tiga putrinya dalam waktu berdekatan. Di umurnya yang sudah 60-an, dia merasa tidak bisa lagi bekerja, apalagi beberapa penyakit sudah menggerogoti tubuhnya, di antaranya diabetes. Berat badan Pram terus merosot hingga sangat kurus sekali.

Pada 1987, Pram dirundung kesedihan mendalam. Moedigdo (Om Dig), paman yang dicintainya, meninggal dunia. “Aku malu sama Tante (istri Om Dig). Aku belum bisa membalas kebaikannya,” kata Pram. Saat pertama kali ke Jakarta pada 1942, Pram dan adiknya Prawito menumpang di rumah Om Dig di daerah Gang Sawo, Kemayoran. Om Dig pula yang berjasa memasukkan Pram ke sekolah Taman Siswa sehingga kemampuan menulis Pram berkembang. Kecintaan Pram terhadap Om Dig dibuktikannya saat terakhir menjenguk saudara kandung dari bapaknya itu, Pram mencium kaki Om Dig dan memberikan uang kepada tantenya.

Pada 1988, buku keempat Pulau Buru berjudul Rumah Kaca terbit. Di tahun yang sama, Pram juga mendapatkan penghargaan PEN/Barbara Goldsmith Freedom to Write Award dan The Fund for Free Expression Award dari Amerika Serikat setahun kemudian. Dari situ, Pram mendapatkan uang yang cukup sehingga keadaan ekonomi keluarganya berangsur membaik. Menyusul pada 1992, Pram lagi-lagi mendapatkan English P.E.N Centre Award dari Inggris dan Stichting Wertheim Award dari Belanda. Dari situ, Pram memperoleh uang yang cukup untuk membangun sebuah rumah di daerah Citayam. Rumah itu dia peruntukkan untuk anaknya. Di Tahun 1992 pula, Pram sudah boleh keluar rumah karena status tahanannya telah berubah dari tahahan rumah menjadi tahanan negara.

Pada 1995, karya-karya Pram kembali diterbitkan: Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dan Arus Balik. Pram juga kembali memperoleh penghargaan Ramon Magsaysay Award for Journalism, Literature, and Creative Communication Arts dari Filipina. Prof. Wertheim asal Belanda yang memberikan penghargaan kepada Pram 1992 silam melarang Pram menerima Ramon Magsaysay Award karena diberikan oleh pihak anti-komunis; hadiah uangnya pun dari Amerika Serikat. Namun Pram yang individualis mengabaikan larangan Prof. Wertheim tersebut sehingga Prof. Wertheim kecewa berat terhadapnya. Dulu Pram banyak mengritik kapitalisme, sekarang hidupnya malah banyak dibiayai dari uang-uang para kapitalis. Dan Pram menyadari hal tersebut.

Pada 1999, seiring era reformasi di Indonesia, Pram terbebas penuh. Tak ada lagi status tahanan yang melekat pada dirinya. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahkan secara terbuka meminta maaf kepada Pram dan menawarkan ide rekonsiliasi. Dalam wawancaranya bersama majalah Tempo, Pram menganggap pernyataan maaf Gus Dur itu “cuma basa-basi…. Gus Dur mesti menempatkan lebih dulu posisi dia. Sekalipun kapasitas sebagai presiden, Gus Dur tak bisa minta maaf begitu saja…. Orang seperti saya menderita karena tiadanya hukum dan keadilan. Saya kira masalah ini urusan negara, menyangkut DPR dan MPR, tetapi mereka tidak bicara apa-apa. Itu sebabnya saya menganggapnya sebagai basa-basi,” kata Pram.

Seiring era reformasi pula, buku-buku lama Pram kembali dicetak ulang bahkan hingga ke dalam 42 bahasa dunia, selain beberapa buku barunya: Arok Dedes, Mangir, Larasati, Sebuah Roman Revolusi, Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer, dan Cerita dari Digul. Selain itu, Pram juga secara bebas melakukan perjalanan ke luar negeri pada tahun 2002 hingga 2004 untuk menerima penghargaan Doktor Honoris Causa dari Universitas Michigan, Chancellor’s Distinguished Honor Award dari Universitas California, Berkeley, Chevalier de l’Ordre des Arts et des Lettres Republic dari Prancis France dan 11th Fukuoka Asian Culture Prize dari Jepang. Pram juga dihargai oleh Majalah Time sebagai Asian Heroes.

Penghasilan dari kebebasan penerbitan buku-bukunya dan penghargaan yang diperolehnya dari dunia internasional dipergunakan Pram untuk membangun rumah tiga tingkat di jalan Warung Ulan no. 9, Bojong Gede, Bogor. Setelah membangun rumahnya itu, Pram berkata, “Rumah ini adalah bukti saya bisa melawan Orde Baru dengan kemenangan saya. Saya berhasil menjadi manusia ketika saya dibunuh berkali-kali”. Pram juga berkata, “Bahwa ketersingkiran dalam hidup harus dilawan dan dimenangkan.”

Pada 2005, Pram menyampaikan sejarahnya sebagai penulis kepada adiknya Koesalah. Pram menceritakan bahwa dia mulai mengarang sejak kelas lima SD. Dia menulis karena malu berbicara. Tulisannya tentang resep dan khasiat obat-obatan dalam bahasa Indonesia. Tulisan itu dikirim Pram ke penerbit Tan Koen Swie tapi ‘tak pernah ada kabar. Tulisan pertama Pram yang dipublikasikan adalah Ke Mana di majalah Panji Pustaka milik Balai Pustaka. Saat tulisan pertamanya tersebut dipublikasikan, Pram merasa dunia di genggamannya dan dia merasa menulis itu menyenangkan.

Selanjutnya, Pram terus menulis melahirkan karya demi karya. Dia terus menulis untuk hidup dan menghidupi. Terlebih setelah kedua orangtuanya meninggal dunia, dia harus menjadi kepala keluarga atas adik-adiknya. Selain menulis karya sendiri, Pram juga menerjemahkan karya-karya orang lain, seperti Lode Zelins, Maxim Gorky, Leo Tolstoy dan lainnya. Ada dua penulis yang menjadi inspirasi Pram: John Steinbeck dan I Njoman Pandji Tisna.

Pram juga mengatakan bahwa dia sangat puas sebagai penulis. Karya-karyanya sudah diterjemahkan ke-42 bahasa, terakhir bahasa Yunani yang belum ada menyamai. Terkait kritik atas tulisannya, Pram menilainya sebagai hal biasa. “Tulisan itu untuk umum, silahkan kalau mau menilai,” kata Pram. Beberapa penulis yang pernah mengritik tulisan Pram di antaranya Mochtar Lubis, Taufiq ismail dan Rosihan Anwar.

Pada 30 April 2006, Pram menghembuskan nafas terakhirnya sebagai manusia. Dia tutup usia di rumah sakit Santa Carolus. Oleh keluarga, Pram kemudian dimakamkan di kompleks Pemakaman Umum Karet Bivak Blok AA 1, Jakarta Pusat dan tidak memenuhi keinginan Pram agar jasadnya dibakar dan abunya ditaburkan. Satu hal yang belum diraih Pram dalam hidupnya adalah hadiah nobel. Padahal dia secara tersirat sangat mendambakannya, begitu pula orang-orang yang mendukungnya. Setelah kepergian Pram, karya-karyanya masih memberikan kehidupan bagi keluarganya dalam bentuk royalti. Sebagaimana kata Pram sendiri, “Buku saya memiliki kehidupannya sendiri.”

Referensi: Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, oleh Koesalah Soebagyo Toer; Pramoedya Ananta Toer Individualis Tulen, oleh Ajip Rosidi; Biography of Pramoedya Ananta Toer, oleh James R. Rush; Pramoedya Ananta Toer, oleh Anton DH; Nyanyi Sunyi Pram, oleh Fachri Salam.

Sabtu, 04 Agustus 2012

Kehidupan Pramoedya Ananta Toer (Episode 1965-1979): Hidup di Salemba, Nusakambangan dan Pulau Buru

Kerja paksa di Pulau Buru (foto: narodnaknjiga.co.yu)
Pada 1965, Pramoedya Ananta Toer (Pram) ditahan di Penjara Salemba karena keterkaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pram harus meninggalkan istrinya Maemunah yang baru saja melahirkan putra keduanya. Maemunah telah mengaruniakan kepada Pram enam orang anak, empat perempuan dan dua lelaki (satu lelaki meninggal dunia saat masih kecil), sehingga jumlah anak Pram yang hidup berjumlah delapan anak, lima dari Maemunah dan tiga dari istri pertamanya.

Tidak hanya itu, naskah-naskah tulisan Pram juga dirampas dan dihilangkan, di antaranya lima jilid Panggil Aku Kartini Saja dari tujuh jilid yang direncanakan (jilid I dan II telah terbit pada 1962) dan dua jilid Gadis Pantai dari trilogi yang direncanakan (hanya terbit satu buku lama kemudian). Massa yang menyerang rumah Pram di jalan Multikarya II no. 26, Utan Kayu, Jakarta Timur, membuat api unggun di belakang rumah dan membakar satu demi satu naskah tulisan Pram.

Di Penjara Salemba, Pram menghabiskan waktunya dengan belajar bahasa Jawa Kuno, Jerman dan Prancis. Istri Pram, Maemunah, juga secara rutin mengirimkan makanan dan menjenguk Pram setiap jadwal kunjungan. Pada kunjungan tertentu, anak-anak Pram juga datang menjenguk. "Saya ingat, saya memegang Astuti di pangkuanku dan berbisik di telinganya," kata Pram.

Pram sungguh tertekan dalam penjara. Dalam pikirannya banyak penyesalan-penyesalan. Salah satunya, Pram menyesal menyuruh dua adiknya (Koesalah dan Soesilo) sekolah di Rusia sehingga mereka juga dituduh komunis dan ditangkapi. Sebelumnya, Prawito adik Pram juga ditangkapi, sehingga ada empat laki-laki dari keluarga Toer yang ditangkap. Hal tersebut membuat sedih keluarga Pram di Blora. Apalagi, dalam pikiran keluarga, tahanan komunis kemungkinan akan dibantai sampai mati.

Selama di penjara, Pram tidak memberikan nafkah kepada keluarganya. Maemunah pun berjuang sendirian menghidupi delapan anaknya. Maemunah berjualan makanan untuk mencari uang membiayai kebutuhan anak-anaknya. Penderitaan Maemunah dan anak-anaknya semakin bertambah ketika orang-orang di sekitar mencibir dan menuduh mereka sebagai komunis. Atas kondisi tersebut, Pram merasa menyesal dan bertanggungjawab. Rasa tanggungjawab Pram ditunjukkannya dengan menyuruh Maemunah menikah lagi, tapi Maemunah menolaknya dan tetap setia kepada Pram.

Selain fisiknya ditahan dan keluarganya dicibir, buku-buku Pram juga dilarang terbit dan beredar di Indonesia. Anehnya, buku-buku Pram justru dicetak di negara tetangga Malaysia. Buku Keluarga Gerilya bahkan menjadi buku wajib bagi para pelajar Malaysia selama bertahun-tahun. Royalti dari buku-buku yang dicetak di Malaysia itulah yang kemudian diperjuangkan Maemunah melalui perantara beberapa pihak untuk diperoleh.

Pada Juli 1969, sekira 500 tahanan termasuk Pram dipindahkan dari Penjara Salemba menuju Penjara Nusakambangan di sebuah pulau di lepas pantai Selatan Jawa. Keadaan Penjara Nusakambangan cukup menjijikkan. Lantai barak penjara itu ditutupi dengan bukit dari kotoran manusia. Sebulan di Nusakambangan, pada 16 Agustus 1969, Pram bersama banyak tahanan lainnya diangkut oleh Kapal Adri XV milik Militer menuju Pulau Buru, Kepulauan Maluku. Kapal berlayar sekira 10 hari lamanya.

Pulau Buru adalah pulau liar yang pada 1969 tidak ada kehidupan sama sekali. Di bawah pengawasan Militer, Pram dan tahanan lainnya memulai kehidupan di pulau itu dengan menggarap perkebunan. Berbekal cangkul, parang dan gergaji, mereka mulai membangun jalan dan membuka ladang untuk menanam singkong, tebu dan jagung. Untuk menambah tenaga dalam bekerja, para tahanan memakan apa saja: ular, cacing, tikus, kucing dan anjing. Banyak tahanan yang tidak bertahan hidup karena sakit dan lapar. Pram sendiri beratnya merosot sampai hanya sekira 58 kilogram dan menderita penyakit maag yang sampai berdarah.

Pram dan kawan-kawan dibawa ke pulau Buru (dok. CNN)
Para tahanan hidup dan bekerja keras di bawah otoritas brutal Militer penjaga kamp. Para tahanan hanya memiliki pakaian lusuh; beberapa tahanan bahkan sampai telanjang bekerja di ladang. Pram sendiri beruntung karena memperoleh kiriman baju dari Maemunah yang diselundupkan melalui seorang pendeta Jerman. Seseorang juga memberikan Pram pena dengan tinta dan kertas untuk menulis. Pram pun kemudian mencoba mengatur jadwal 15 menit sehari untuk menulis, tetapi dia tidak konsentrasi. "Saya tidak bisa mengumpulkan pikiran saya," kata Pram. Dan, beberapa waktu kemudian, Pram membarter alat tulisnya itu dengan sebuah topi koboi yang melindunginya dari matahari.

Pada 1973, kehidupan mulai terlihat di Pulau buru. Beberapa tanaman tumbuh subur. Orang-orang mulai makan teratur, melepaskan pikiran dengan memancing dan mengumpulkan tanaman pangan dari hutan, serta memelihara hewan. Pram sendiri memiliki delapan ekor ayam. Pram juga mulai berolahraga secara teratur. Pram dan tahanan lainnya juga saling berbagi pengetahuan tentang akupresur, obat-obatan herbal dan obat tenunan sendiri yang bisa menyembuhkan kejang perut. Dari situ, penyakit maag yang diderita Pram sejak dari penjara Salemba sembuh karena khasita sebuah air. Selain itu, "Orang-orang menghibur diri dengan alat musik buatan sendiri dan dengan berbagi surat mereka yang berharga dari rumah," Pram bercerita.

Pada suatu ketika, gairah menulis pram bangkit lagi. Secara sembunyi-sembunyi, Pram pun mulai menulis dengan bantuan teman-temannya yang menyelundupkan pena, tinta dan kertas untuknya. Hingga keajaiban datang pada Oktober 1973, dimana ketika Jend. Soemitro datang ke Pulau Buru, dia mengizinkan Pram untuk menulis. Pram bahkan disediakan satu ruangan khusus dengan peralatan mesin ketik. Di ruangan khusus itu, Pram secara bebas menulis, terlebih teman-teman Pram memasok rokok dan kopi untuk Pram. 

Di ruangan itu, Pram mengumpulkan pikirannya untuk merumuskan tulisan-tulisan baru. Maka lahirlah tulisan Pram berupa quartet Pulau Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Selain itu, Pram juga menulis beberapa surat untuk istrinya, anak-anaknya, dan saudara-saudaranya. Dalam surat-surat itu, Pram menyampaikan banyak hal yang kemudian menjadi dasar bukunya yang berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang terbit lama kemudian.

Atas desakan dunia internasional, para tahanan komunis akhirnya dibebaskan secara bertahap pada 1978 hingga 1979. Pram termasuk yang bebas pada 1979. Pram bersama tahanan lainnya dipulangkan dengan kapal laut menuju Surabaya. Dari Surabaya, mereka naik kereta menuju Penjara Salemba, Jakarta, sebelum akhirnya dibebaskan ke rumah asal masing-masing. Sekeluar dari Penjara Salemba, Pram dijemput oleh adiknya Koesalah.

Pram dan adiknya Koesalah disambut anak-anaknya (dok. CNN)
Pram menggendong anaknya (dok. CNN)
Pram memandang wajah anaknya (dok. CNN)
Pram memeluk istrinya Maemunah (dok. CNN)
Pram disambut keluarganya saat lepas dari Pulau Buru (dok. CNN)

Referensi: Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, oleh Koesalah Soebagyo Toer; Pramoedya Ananta Toer Individualis Tulen, oleh Ajip Rosidi; Biography of Pramoedya Ananta Toer, oleh James R. Rush.

Kamis, 02 Agustus 2012

Kehidupan Pramoedya Ananta Toer (Episode 1960-1965): Di-PKI-kan dan Dipenjara di Salemba

Pram (foto: kolom-biografi.blogspot.com)
Awal 1960-an adalah masa dimana perseteruan antara komunisme dengan anti-komunisme memanas di Indonesia. Terlebih setelah Presiden Soekarno melalui pidatonya pada tanggal 17 Agustus 1959 menetapkan Demokrasi Terpimpin sebagai haluan negara dengan Nasionalis, Agama dan Komunis (Nasakom) sebagai akarnya. Soekarno menyebut hal tersebut sebagai manifest politik (manipol) dan kemudian disahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

Perseteruan komunisme dengan anti-komuniems juga melibatkan para sastrawan Indonesia, 'tak terkecuali Pramoedya Ananta Toer (Pram). Pram mendukung kebijakan Soekarno dan melawan pihak-pihak yang menentangnya. Makanya, selepas dari penjara Cipinang pada akhir 1960, Pram menjadi Redaktur rubrik Lentera dalam Majalah Bintang Timur milik Partai Indonesia (Partindo), partai yang politiknya sejalan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Melalui Lentera, Pram kemudian menyerang para sastrawan yang dianggapnya tidak sejalan dengan haluan Demokrasi Terpimpin. Pram menyebut para sastrawan yang anti-komunisme sebagai anti-manipol dan kontra revolusi. Para sastrawan yang anti-komunisme menggabungkan diri mereka dalam Manifest Kebudayaan yang didirikan pada 17 Agustus 1963 dan menyebut diri mereka sebagai penganut humanisme universal. Pram mengolok-olok Manifest Kebudayaan dengan menyebutnya Manikebu. Pram juga mengritisi humanisme universal dan menganggapnya sebagai bagian dari imperialisme-neokolonialisme.

“Kaum Manikebu muncul justru pada saat kita sedang mengarahkan sasaran tembakan pada kaum imperialis-neokolonialis sebagai titik-pusat tembak. Mereka muncul pada garis tembak kita. Apakah mereka tidak kena tembakan?” tanya Pram di Lentera pada 12 April 1964. Lantas Pram melanjutkan, “Pasti kena sasaran tembakan kita secara 'tak terhindarkan. Dengan demikian mereka melemahkan daya tembak kita. Ini adalah bukan hal yang kebetulan.”

Pram kemudian mengeluarkan wacana realisme sosialis sebagai tandingan bagi humanisme universal. Realisme sosialis meletakkan kenyataan dan kebenaran yang lahir dari pertentangan-pertentangan di dalam masyarakat maupun di hati manusia sebagai dasar material kesenian. Seni adalah untuk rakyat. Adapun humanisme universal adalah perjuangan kebudayaan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Intinya, seni untuk kemanusiaan.

Pram juga meneror para sastrawan Manikebu agar dipecat dari jabatan publiknya dan karya-karyanya dilarang untuk diterbitkan, serta tulisan-tulisannya dilarang dimuat dalam majalah dan koran. Dampaknya, Presiden Soekarno membubarkan Manikebu pada 18 Mei 1964. Para sastrawan Manikebu kemudian menjadi "sengsara, terpojok dan tanpa karya," kata Taufiq Ismail, salah seorang pendiri Manikebu.

Entah apa yang ada di pikiran Pram waktu itu. Ajip Rosidi menilai tindakan Pram adalah atas pemikirannya sendiri, bukan atas permintaan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) maupun PKI. Sebabnya, karena Pram sangat mendukung kebijakan Soekarno. Namun karena tindakan Pram menguntungkan pihak kiri, dukungan pun mengalir. Serangan Pram dimanfaatkan pihak kiri untuk menarik perhatian Presiden Soekarno dan mereka siap mengerahkan massa untuk mendukung Pram. "Pram dimanfaatkan," tegas Ajip.

Ajip berpikir tidak mungkin Pram berpaham komunis karena Pram sangat individualis, tidak sama rasa sama rata seperti komunisme. Pram juga punya kepala sendiri, tidak tunduk pada ketentuan partai seperti sistem di PKI. Jadi tidak mungkin Pram berpaham komunis dan tidak mungkin dia menjadi anggota PKI. Hal tersebut diakui Pram belakangan. Pram bahkan mengaku banyak berbeda pendapat dengan tokoh-tokoh PKI, seperti Njoto dan Aidit.

Namun perseteruan antara dua kubu terlanjur meledak. Manikebu melalui para sastrawannya, di antaranya Taufiq Ismail, HB Jassin dan Mochtar Loebis, menyerang balik para sastrawan Lekra. Satu yang dituju adalah Pram. Taufiq Ismail berkata, "Lekra adalah antek PKI yang pada zamannya melakukan penindasan brutal terhadap orang-orang Manikebu." Bersama DS Moeljanto, Taufiq juga menulis sebuah buku berjudul Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk.

Pada 1965, perseteruan mengalami puncaknya ketika terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang berakibat komunisme dan PKI dihabisi hingga ke akar-akarnya. Presiden Soekarno dilengserkan dari jabatannya. Para anggota PKI dan yang diduga terlibat PKI ditangkapi satu persatu dan dipenjara, bahkan sebagian besar dibantai sampai mati. Itu pula yang terjadi pada Pram, dia di-PKI-kan dan dipenjara di Salemba tanpa proses pengadilan.

Kejadian penangkapan Pram terjadi pada Oktober 1965. Rumahnya di jalan Multikarya II no. 26, Utan Kayu, Jakarta Timur diserbu massa, gabungan dari masyarakat dan militer. Dia bersama adiknya Koesalah kemudian ditangkap dan dibawa ke markas Komado Daerah Militer (Kodam) sebelum akhirnya dimasukkan ke Penjara Salemba. Massa juga menyita naskah-naskah tulisan Pram, termasuk naskah Panggil Aku Kartini Saja sebanyak lima jilid dari tujuh jilid yang direncanakan (sebelumnya pada 1962, Panggil Aku Kartini Saja jilid I dan II telah diterbitkan). Naskah yang disita massa tersebut kemudian hilang dan tidak pernah terbit.           

Referensi: Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, oleh Koesalah Soebagyo Toer; Pramoedya Ananta Toer Individualis Tulen, oleh Ajip Rosidi; Digdaya Pramoedya!, oleh Iswara N. Raditya.