Senin, 30 Juli 2012

Kehidupan Pramoedya Ananta Toer (Episode 1950-1960): Jatuh-Bangun, Hidup dan Menghidupi dari Menulis

Pram (foto: Balai Pustaka)
Awal 1950-an adalah masa dimana banyak buku Pramoedya (Pram) dicetak lalu diterbitkan. Buku-buku itu: Dia yang Menyerah, Keluarga Gerilya, Perburuan, Percikan Revolusi, Subuh, Tikus dan Manusia (terjemahan buku John Steinbeck), Kembali Kepada Cinta Kasihmu (terjemahan buku Leo Tolstoy), Di Tepi Kali Bekasi, Bukan Pasar Malam, Mereka yang Dilumpuhkan, Cerita dari Blora dan lainnya. Karena banyaknya, Pram merasa sanggup hidup dari menulis. Terlebih saat itu honor penulis memang mencukupi, 20% dari omset penjualan buku. Dengan prinsip tersebut, Pram mengundurkan diri sebagai pegawai di Balai Pustaka dan konsentrasi menjadi penulis. Pram juga mendirikan Mimbar Penyiaran Duta, organisasi yang berfungsi menjadi penghubung antara penulis dan penerbit.

Awalnya, semua rencana Pram berjalan lancar. Tulisan beberapa penulis berhasil diterbitkan, seperti Rivai Apin dan Amir Pasaribu. Pram sendiri berhasil menelurkan tulisan di antaranya Lemari Buku dan Gulat di Jakarta dengan menggunakan nama barunya: Pramoedya Ananta Toer. Bahkan Pram dan keluarganya sempat menetap di Amsterdam, Belanda, hingga akhir 1953 dalam rangka kegiatan pertukaran budaya. Namun keadaan berbalik pada 1954. Pram mengalami krisis keuangan. Mimbar Penyiaran Duta mandeg, 'tak ada lagi penulis yang menyetorkan tulisannya untuk diterbitkan, kecuali tulisan Pram sendiri.

Krisis tersebut akhirnya membuat rumahtangga Pram dengan istrinya kacau yang berakibat Pram diusir oleh mertuanya dari rumah Kebon Jahe Kober Gang III pada pertengahan 1954. Pram pun pindah dengan menyewa rumah di sebuah gang becek tanpa nama di daerah Rawasari di belakang jalan Rawamangun. Ketiga adiknya (Koesaisah, Koesalah dan Soesilo) juga ikut pindah, tapi tidak lagi tinggal bersama Pram. Pernikahan Pram dan istrinya yang melahirkan tiga anak perempuan pun akhirnya berakhir dengan perceraian.

Dalam kondisi keuangan yang carut-marut, Pram bergaul dengan orang-orang kiri (komunis). Pergaulan itu membuat jalan pikirannya sedikit terpengaruh. Terbaca dalam karya-karyanya semisal Korupsi yang dengan lantang mengritiki pemerintahan orde lama Soekarno. Pram memang individualis sejati, berani mengritiki seseorang meskipun orang itu dikaguminya. Pram adalah pengagum Soekarno. Saat Pram ditanya apa pendapatanya tentang Soekarno, dia menjawab, "O, itu tidak ada tandingannya."    

Pada September 1954, Pram mengunjungi sebuah pameran Pekan Buku Nasional I yang diadakan penerbit buku Gunung Agung di Gedung Decca Park, Lapangan Merdeka. Di pameran itu, Pram bertemu dengan seorang perempuan penjaga stan bernama Maemunah Thamrin, kemenakan dari pahlawan nasional MH Thamrin. Pram jatuh cinta kepada Maemunah. Mereka pun berkenalan dan menjalin hubungan.

Tiga bulan menjalin hubungan, Pram dan Maemunah menikah pada Januari 1955. Mereka menikah di rumah orangtua Maemunah, HA Thamrin, di jalan Tamansari Gang II, Sawah Besar. Hadir pada pernikahan itu teman-teman Pram: Ramadhan KH, Nugroho Notosusanto, Emil Salim, HB Jassin, Ajip Rosidi dan lainnya. Juga hadir adik-adik Pram: Koesalah dan Soesilo.

Pram dan Maemunah di pelaminan (dok. CNN)
Mertua Pram adalah orang berada, punya banyak rumah yang disewakan. Pram dan Maemunah pun ingin diberikan satu rumah dengan konstruksi besar dan prima, namun Pram menolak. Pram malah lebih memilih memboyong istrinya tinggal di rumah Rawasarinya. Mungkin baru kali itu Maemunah tinggal di rumah sederhana, namun dia 'tak pernah mengeluh sama sekali. "Saya mendapat kesan bahwa Maemunah tidak mengangumi Pram sebagai sastrawan, karena nampaknya dia tidak suka membaca sastra. Dia jatuh cinta kepada Pram sebagai manusia," kata teman Pram, Ajip Rosidi.

Keputusan Pram sangat tepat. Di rumah yang sederhana seperti itu ditambah kasih sayang dari Maemunah yang tulus dalam suku maupun duka, gairah menulisnya meningkat. Beberapa karya pun dilahirkannya: Cerita dari Jakarta yang menggambarkan semua tempat-tempat yang pernah ditinggali Pram di Jakarta, tulisan ini diterbitkan Grafica; Sunyi Senyap di Siang Hidup yang menggambarkan perceraian Pram dengan istri pertamanya dan pertemuannya dengan Maemunah, tulisan ini dimuat di majalah Indonesia; Kali Siopas Kantor dan Yang Tinggal dan yang Pergi yang dimuat di majalah Gelanggang dan Keadaan Sosial Para Pengarang Indonesia yang dimuat di majalah Star Weekly. Selain itu, Pram juga menjadi Redaktur sebuah majalah luar negeri.                       

Hasil tulisan dan pekerjaan sebagai Redaktur majalah luar negeri membuat Pram mampu mengumpulkan uang, membeli sebidang tanah dan membangun rumah sendiri di jalan Multikarya II no. 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pram membayar pengorbanan Maemunah, meskipun dengan sebuah rumah yang sederhana. Pram dan Maemunah pun menapaki sedikit demi sedikit tangga menuju kebahagiaan. Namun, kedekatan dengan pihak kiri membuat perjalanan menuju kebahagiaan Pram terganggu. Pram dimusuhi, terlebih setelah dia pulang dari Cina selepas menghadiri peringatan 20 tahun meninggalnya pengarang besar Cina, Lu Hsun. 'Tak ada lagi majalah yang mau menerbitkan tulisannya, termasuk majalah Star Weekly milik Peng Koeng Auwjong alias Petrus Kanisius Ojong, pediri Kompas Group. 'Tak hanya Pram yang mengalami nasib seperti itu, semua pengarang yang dekat dengan pihak kiri, di antaranya Utuy Sontani, juga ditolak karya-karyanya.

Keadaan tersebut membuat Pram kembali mengalami krisis keuangan. Bahkan Pram terpaksa mengungsikan Maemunah ke rumah mertuanya untuk sementara. Pram pun tinggal dan berjuang sendiri di rumah Rawasarinya. Suatu ketika, saking susahnya, Pram pergi ke rumah kontrakan Ajip Rosidi di Kramatpulo. Pram mengetuk pintu. Setelah Ajip Rosidi membuka pintu, Pram berkata dengan suara yang sangat dalam, "Kau ada nasi tidak? Aku sudah beberapa hari tidak makan!" Pram kemudian memakan nasi dingin bercampur mentega yang disajikan Ajip.

Krisis keuangan Pram akhirnya teratasi berkat bantuan pihak kiri. Pram ditugasi menerjemahkan karya-karya pengarang Uni Soviet semisal Ibunda karya Maksim Gorki. Dari situ, Pram mendapatkan uang untuk menyambung hidup. Selain itu, pada 1959, Pram diutus bersama Utuy mengikuti Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tasykent, Uni Soviet. Di saat yang sama, nama Pram dan Utuy juga dimasukkan dalam susunan pengurus Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi sastra milik pihak kiri. Kedua hal tersebut membuat pihak antikiri semakin menuduh Pram dan Utuy tergabung dalam pihak kiri yang berpaham komunis. Terkait namanya di pengurusan Lekra, Pram tidak merasa dan hanya menganggapnya sebagai sebuah kehormatan.

Pada 1960, buku Pram berjudul Hoakiau di Indonesia, yang mengritisi Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1960 yang melarang kaum Tionghoa bergiat di pedalaman negeri ini, diterbitkan. Akibat buku itu, Pram ditangkap Pemerintahan Orde Lama dan ditahan di Penjara Cipinang selama sembilan bulan hingga keluar pada akhir 1960. Selama di Cipinang, Pram menyibukkan diri dengan menulis.

Referensi: Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, oleh Koesalah Soebagyo Toer; Pramoedya Ananta Toer Individualis Tulen, oleh Ajip Rosidi; Pramoedya Ananta Toer 80 Tahun: Berlomba dengan Maut, oleh P. Hasudungan Sirait dan Rin Hindryati P.; wikipedia.

Rabu, 25 Juli 2012

Kehidupan Pramoedya Ananta Toer (Episode 1947-1950): Hidup di Penjara Bukitduri, Kembali ke Blora dan Menjadi Kepala Keluarga

Pram (foto: koleksi keluarga Pram)
Pada 1947, penjajah menjebloskan Pramoedyo (Pram) ke penjara Bukitduri di tepi sungai Ciliwung di Jatinegara. Awalnya, Pram merasa sangat putus asa. Energinya yang membludak sebagai pemuda 22 tahun terkunkung oleh tembok penjara. Dia sampai berpikir untuk bunuh diri, tapi tidak jadi. Beruntung Bukitduri memiliki fasilitas perpustakaan dan alat tulis yang memadai, gairah menulis pram pun tersalurkan, tidak mati.

"Di penjara Belanda itu bebas sekali. Perpustakaan ada; buku-buku boleh masuk. Malah majalah dan koran republik boleh masuk. Aku belajar ekonomi di sana. Kalau dipekerjakan, dapat upah sejam delapan sen. Sehari kerja tiga jam, jadi dapat upah duapuluh empat sen. Dengan uang itu, bisa beli buku-buku," kata Pram.

Walau pun begitu, tidak selamanya Pram terlepas dari penderitaan. Di Bukitduri, Pram dan teman-temannya harus melakoni kerja paksa di antaranya menyingkirkan besi-besi bekas alat berat dan membabat rumput dan ilalang di Lapangan Gambir, Lapangan Terbang Kemayoran dan Jatinegara. Suatu ketika, Pram dan teman-temannya bersepakat menolak kerja paksa. Sampai pada waktunya, ternyata semua orang menerima kerja paksa kecuali Pram. Pram pun dihukum dengan dikurung dalam sel yang diasapi bau got. "Begitulah selalu yang terjadi dengan aku. Sendirian," kata Pram.

'Tak banyak yang menjenguk Pram di Bukitduri, maklum keluarganya jauh di Blora. Salah satu yang menjenguk Pram adalah GJ Resink, seorang penulis senior. Melalui Resink pula, Pram menyelundupkan naskah tulisannya berjudul Perburuan. Oleh Resink, naskah tersebut diserahkan kepada HB Jassin, Redaktur Balai Pustaka, yang kemudian diikutkan dalam sayembara mengarang roman yang diadakan Balai Pustaka. Naskah Perburuan meraih nomor satu dalam sayembara itu.

Selain Resink, Pram juga dijenguk oleh tantenya, istri dari Om Dig. Tantenya datang untuk menyampaikan kepada Pram bahwa dia mendapatkan honorarium untuk bukunya Kranji Bekasi Jatuh. Pram kemudian berkata, "Nah, ambil saja, Tante!" Pram menyerahkan semua honorariumnya kepada tantenya. Itu dilakukan Pram sebagai rasa terimakasih atas jasa-jasa tantenya menampung Pram dan adiknya Pra di rumah Kemayoran waktu pertama kali datang ke Jakarta pada 1942.

Pada akhir 1949, seiring diakuinya kemerdekaan Indonesia oleh penjajah, Pram dibebaskan dari Bukitduri dan lalu menikahi gadis pujaan hatinya yang dijumpainya di Purwakarta saat aktif di Militer dulu. Pram kemudian tinggal di rumah istrinya di Kebon Jahe Kober Gang III. Untuk menafkahi istrinya, Pram bekerja sebagai Redaktur Sastra Modern pada penerbit Balai Pustaka dan mendapat tugas mengasuh majalah anak-anak, Kunang-Kunang. Naskahnya Perburuan yang memenangkan sayembara lomba mengarang Balai Pustaka juga diterbitkan.

Pram menceritakan saat-saat pertama kali masuk ke Balai Pustaka dimana dia bertemu dengan banyak penulis handal di antaranya Idrus, Redaktur Balai Pustaka dan penulis novel Surabaya dan kumpulan tulisan Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Idrus berkata kepada Pram saat berjumpa, "O, ini yang namanya Pramoedya! Pram, engkau ini bukan ngarang, tapi berak!" Entah apa maksud Idrus berkata seperti itu, tapi mendengar kata-kata itu, Pram merasa dikecilkan.

Pada 1950, Pram kembali ke Blora karena bapaknya Mastoer sakit keras. Setelah delapan tahun berpisah, Pram akhirnya bertemu keluarganya, terutama enam adiknya yang sudah beranjak besar. 'Tak lama kemudian, bapaknya meninggal dunia di usia 54 tahun. Pram pun menjadi kepala keluarga.

Salah satu kebijakannya sebagai kepala keluarga yang paling menonjol adalah perintahnya kepada adik-adiknya untuk menambahkan nama Toer (kependekan dari Mastoer) di belakang nama masing-masing. Mas sengaja dihilangkan karena Pram menganggapnya ke-Jawa-an. Sebelumnya Pram juga telah menerapkan prinsipnya itu ketika dalam banyak naskah tulisannya dia memakai nama Pramoedya, bukan Pramoedyo. 

Kebijakan lainnya sebagai kepala keluarga adalah ketika kembali ke Jakarta, dia membawa serta tiga adiknya: Koesaisah, Koesalah dan Soesilo untuk ditanggungnya bersekolah, "Menjadi dokter-dokter, meester-meester," ujar Pram. Ketiga adiknya itu tinggal bersama Pram dan istrinya di Kebon Jahe Kober Gang III.     

Referensi: Riwayat Hidup Singkat, oleh Pramoedya Ananta Toer; Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, oleh Koesalah Soebagyo Toer; Pramoedya Ananta Toer Individualis Tulen, oleh Ajip Rosidi; wikipedia.

Selasa, 24 Juli 2012

Kehidupan Pramoedya Ananta Toer (Episode 1942-1947): Sekolah di Taman Siswa, Masuk Militer dan Dipenjara

Pram (foto: koleksi keluarga Pram)
Pada 1942, Pramoedyo (Moek) bersama adiknya Prawito (Pra) meninggalkan kampungnya Blora menuju Jakarta. Moek dan Pra tinggal di rumah pamannya Moedigdo (Om Dig) dan istrinya di daerah Gang Sawo, Kemayoran. Di rumah Om Dig, Moek dan Pra hidup pas-pasan dengan hanya makan sekali sehari, itu pun cuma bubur. Maklum, keadaan waktu itu memang sangat susah sekali. Moek juga melakukan banyak pekerjaan rumah membantu tantenya: ngepel, nyuci, nyetrika, termasuk belanja.

Dalam keadaan seperti itu, Moek tetap bersyukur karena bisa hidup, makan dan bersekolah. Oleh Om Dig, Moek dimasukkan ke sekolah Taman Siswa yang berjarak dekat dari rumah, hanya sekira 100 meter. Hal yang kemudian membuat Moek sangat menghormati Om Dig atas jasanya tersebut. Taman Siswa adalah sekolah yang didirikan Ki Hadjar Dewantara dan cukup besar kala itu, memiliki sekira ratusan cabang di seluruh Indonesia.

Di Taman Siswa, jiwa menulis Moek berkembang. Moek kemudian berteman dengan tiga orang yang juga penulis: AK Hadi, Asrul Sani dan Sandjaja. Keempatnya dikenal sebagai Empat Serangkai Taman Siswa yang sering ikut lomba menulis. Dalam perlombaan, AK Hadi selalu menjadi yang nomor satu, disusul Moek, Asrul Sani dan Sandjaja. Oleh teman-temannya, Pramoedyo akrab dipanggil Pram, bukan Moek.

Suatu ketika, Pram menulis surat kepada Bapaknya di Blora. Dalam surat itu, Pram menyampaikan bahwa dia sudah bersekolah setingkat SMA. Pram juga meminta uang kepada bapaknya untuk membeli sebuah buku. Namun, surat Pram 'tak pernah dibalas oleh bapaknya; uang pun 'tak pernah dikirimkan, padahal seminggu lalu bapaknya mengirimkan uang kepada Pra. Pram kembali sakit hati kepada bapaknya dan berjanji tidak akan lagi meminta uang kepada bapaknya. Pram lalu memutuskan untuk mencari kerja.

Sambil bersekolah, Pram akhirnya bekerja di kantor berita Domei (sekarang kantor berita Antara) sebagai juru ketik. Pram bersekolah di pagi hari dan bekerja di sore hari. Uang hasil kerja dipakai Pram membiayai sekolah Pra, sebagian dikirim ke Blora. Di tempat kerjanya, Pram banyak belajar sastra dan pers, termasuk banyak membaca buku-buku untuk menambah wawasannya. Saat libur di hari Ahad, Pram juga meluangkan waktunya membaca buku di perpustakaan Gedung Gajah.

Pada 1945, Pram membantu Om Dig mengurusi penerbitan majalah The Voice of Free Indonesia. Setelah itu, Pram diajak AK Hadi bersama puluhan pemuda bergabung dengan tentara Siliwangi (Militer) di Cikampek. Pram pun menjalani kehidupan baru di Militer. Awalnya, Pram bertugas di bagian perhubungan dimana AK Hadi sebagai Komandannya, tapi kemudian Pram pindah ke bagian perkabaran (korespondensi).

AK Hadi menceritakan kenangan di Militer saat Pram menjadi anakbuahya, "Pram pernah ngawal saya mbongkar gudang bahan makanan punya Belanda.... Pram pernah bertengkar dengan yang namanya Durahman. Entah masalah apa mereka bertengkar, saya ndak tahu. Tapi waktu itu Durahman sempat menodongkan pistolnya pada Pram. Anehnya, Pram bukan angkat tangan, malah berteriak sambil nudingkan telunjuknya pada pistol Durahman, 'Masukkan! Masukkan!' Katanya. Tapi Pram kemudian menjadi koresponden militer. Jadi kami berpisah."  

Saat menjadi koresponden Militer, Pram belajar banyak perihal ilmu pengarsipan dan pers karena tugasnya memang mendokumentasikan kejadian lalu memberitakannya kepada beberapa media, di antaranya koran Merdeka milik BM Diah, majalah Pantja Raja, majalah Siasat dan lainnya. Selain itu, Pram juga banyak mengunjungi daerah-daerah seperti Kranji, Bekasi, Cibubur dan salah satunya Purwakarta tempat dimana dia bertemu dengan istri pertamanya. Setiap hari, dia menuliskan pengalamannya di beberapa daerah itu, muncullah artikel Pram berjudul Kemana, Tanpa Kemudian, Sepuluh Kepala Nica dan lainnya yang juga dimuat di media.

Dua tahun di Militer, Pram mengundurkan diri pada 1947. Pram kecewa melihat praktik korupsi yang terjadi di tubuh Militer. Menurut Pram, praktik tersebut tidak ada bedanya dengan kekejian penjajah. "Kalau menghadapi musuh mereka lari. Tapi kalau menghadapi bangsa sendiri, kejamnya bukan main," ujar Pram. Pram keluar dari Militer dengan keputusan resmi, ada suratnya. Di surat itu tertulis bahwa Pram berhak atas gaji selama enam bulan dan biaya pulang ke tempat tujuan asal. Tapi setelah dua bulan menunggu, Pram tidak memperoleh hak-haknya. Pram pun pulang ke Jakarta dengan menumpang gratis kereta api.             

Di Jakarta, Pram bekerja di majalah The Voice of Free Indonesia yang didirikannya bersama Om Dig. Pram juga menerbitkan novel pertamanya hasil pengalamannya di Militer: Kranji Bekasi Jatuh. Atas tulisan-tulisannya, Pram menjadi buronan penjajah. Puncaknya, ketika markas The Voice of Free Indonesia di Kemayoran dikepung tentara penjajah (Inggris dan belanda). Pram akhirnya ditangkap dan ditahan di Penjara Bukitduri, Jatinegara. Naskah asli beberapa tulisannya dirampas dan hilang entah di mana.

Referensi: Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, oleh Koesalah Soebagyo Toer; Pramoedya Ananta Toer Individualis Tulen, oleh Ajip Rosidi.

Rabu, 18 Juli 2012

Kehidupan Pramoedya Ananta Toer (Episode 1925-1942): Dari Blora Menuju Jakarta

Pram (foto: Indo Progress)
5 Februari 1925, di Blora, Jawa Tengah, seorang lelaki bernama Pramoedyo terlahir ke dunia. Bapaknya Mastoer adalah guru di sekolah Boedi Oetomo; ibunya Oemi Saidah adalah petani. Mastoer dan Oemi Saidah juga memiliki darah sastra dalam bentuk tulisan dan dongeng. Pramoedyo yang oleh bapak-ibunya dipanggil Moek dan oleh saudara-saudarinya dipanggil Mas Moek adalah sulung dari delapan bersaudara, lima lelaki dan tiga perempuan: Pramoedyo, Prawito (Waloejadi), Koenmarjatoen, Oemi Safaatoen, Koesaisah, Koesalah, Soesilo dan Soesetyo. 

Moek menjalani masa kecil sebagaimana anak-anak desa pada umumnya: bermain, mengaji dan bersekolah. Dalam bermain, Moek selalu menjadi anak kalahan. Permainan apapun: gaplek, gundu atau apapun, dia selalu kalah. Dalam mengaji, Moek diajari Pak Kanapi di rumahnya. Dia mengaji bersama saudara-saudaranya dan anak-anak yang ditampung dan menumpang di rumahnya.  

Dalam bersekolah, Moek 'tak berprestasi sama sekali, dia malah tiga kali tidak naik kelas. Walhasil, SD pun diselesaikannya dalam waktu 10 tahun pada umur 15 tahun. Ketika Moek menyampaikan kepada bapaknya bahwa dia sudah lulus SD dan ingin melanjutkan ke SMP, bapaknya lantas berkata, "Anak goblok! Sana kembali!"

Mendengar bapaknya bicara seperti itu, Moek sakit hati dan menangis. Dia lalu pergi membawa air mata dan buku-buku yang digenggamnya. Lalu kemudian, ibunya datang menghibur, "Sini Nang, ayo ikut ibu!" Moek diajak ibunya memanen padi. Hasil panen lalu dijual untuk mendapatkan uang. Moek lalu diberi uang oleh ibunya untuk melanjutkan sekolah. 

Beda dengan bapaknya, ibunya justru sangat mengerti Moek. Berkat uang dari ibunya itu, Moek melanjutkan pendidikan di Sekolah Teknik Radio di Surabaya pada 1940. Alasan Moek memilih sekolah itu sederhana saja: murah dan cepat selesai, hanya satu setengah tahun. Maklum, uang dari ibunya sangat pas-pasan. Moek pun selesai tepat waktu pada 1942, tapi tidak sempat mengambil ijazah karena di saat yang sama Jepang telah menduduki Surabaya. Moek kemudian kembali ke Blora karena tidak mau ikut wajib militer.

Sekembali di Blora, Moek menceritakan kepada bapaknya semua hal yang diketahuinya di Surabaya. Namun bapaknya berkomentar pedis, "Ah, kamu tahu apa!" Moek lagi-lagi sakit hati kepada bapaknya. Rasa sakit hati itu dijadikan Moek sebagai pembakar semangat bahwa dia harus lebih berhasil dari bapaknya. Selain terkenal sebagai guru, Mastoer juga terkenal sebagai tokoh masyarakat berpengaruh di Blora karena jasa-jasanya menampung banyak anak dan menyekolahkannya.

Untuk lebih berhasil dari bapaknya, Moek memulai hidup mandiri dengan bekerja. Terlebih pada masa Jepang, keadaan ekonomi keluarga memburuk. Moek bekerja dengan berjualan barang-barang apa saja untuk membantu kehidupan keluarganya: tembakau, benang, piring, cangkir dan lainnya. Kondisi saat itu memang serba apa adanya, setiap orang butuh apa saja, sehingga jual apa saja pasti laku. Moek membeli barang-barang dari orang-orang yang menjarah toko-toko Cina. Selain menjualnya, Moek juga memberikan sebagian barang-barangnya kepada ibunya. 

Di tahun 1942 pula, Ibu Moek wafat di usia yang masih sangat muda, 34 tahun. Keadaan pun berubah. 'Tak lama kemudian, Moek dan adiknya Prawito (Pra) dibelikan karcis oleh bapaknya menuju Jakarta. Entah apa penyebabnya, Moek menduga bapaknya melakukan itu untuk mengurangi beban keluarga; atau kemungkinan lain, bapaknya punya keinginan untuk menikah lagi. Entahlah, yang jelas kala itu Moek merasa terusir dari rumah.

Referensi: Riwayat Hidup Singkat, oleh Pramoedya Ananta Toer; Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, oleh Koesalah Soebagyo Toer.

Senin, 09 Juli 2012

Misteri Kematian Djaniba, Karyawati Bank Indonesia Cabang Makassar

JUMAT sore, 4 Juli 2008, ruangan lantai 2 gedung Bank Indonesia Cabang Makassar di jalan Jend. Soedirman kosong melompong. Semua karyawan berkumpul di ruangan di lantai lain untuk mengikuti sebuah acara.

Di ruangan lantai 2 yang kosong melompong itulah terjadi tindakan penganiayaan. Akuntan BI, Hj. Djaniba Werang (52 tahun), dianiaya oleh beberapa orang yang juga merupakan karyawan BI.

Tubuh Djaniba yang sudah dipenuhi lebam dan memar kemudian dibuang ke bawah kotak lift melalui pintu lift yang dibuka dengan kunci. Djaniba sempat memberontak, tapi dia 'tak berdaya. Alat CCTV merekam semua kejadian tersebut.

DI LUAR gedung BI, Djasmin menunggu. Dia memang biasa menjemput kakaknya Djaniba saat jam pulang kerja. Namun, penungguannya kali ini berujung resah, sebab sang kakak yang ditunggu-tunggu 'tak jua muncul. Djasmin khawatir.

Hingga malam telah larut, Djaniba 'tak jua muncul, Djasmin pun memutuskan untuk mencari kakaknya ke dalam gedung BI. Ditemani pihak keamanan, Djasmin menyusuri setiap sudut ruangan, termasuk di lantai 2 di ruangan kerja kakaknya.

Di tengah pencarian itu, Djasmin mendengar suara rintihan yang sumbernya berasal dari dalam pintu lift. Pintu lift pun dibuka untuk membenarkan sumber suara rintihan itu. Akhirnya, tubuh Djaniba ditemukan terbaring lemah di bawah kotak lift sekira pukul 02.00 dini hari. Tubuh Djaniba kemudian diangkat lalu dilarikan ke rumah sakit terdekat, RS Akademis. Djaniba langsung dirawat intensif di ruangan ICCU.

SABTU pagi pascakejadian, Subadi Gaffa (karyawan Logistik BI) menelepon Bayu Aji (teknisi lift Otis) untuk datang. Subadi menginformasikan kepada Bayu tentang kejadian adanya karyawan yang terjatuh ke dalam lift.

Saat Bayu datang, Subadi langsung menyerahkan kunci pintu lift kepada Bayu dan menyuruh Bayu untuk segera memeriksa lift. Bayu merasa heran karena kebiasaan selama ini -jika ingin memeriksa lift- dia yang meminta kunci, tapi kali ini justru Subadi-lah yang langsung memberinya kunci.    

Karena heran, Bayu tidak langsung mengikuti suruhan Subadi. Bayu hanya melihat slide lift untuk memeriksa kondisi lift. Hasilnya: lift berfungsi normal. Bayu lalu menginformasikan kejadian tersebut kepada kantor perwakilan Otis di Makassar yang lalu diteruskan ke Jakarta, Singapura, bahkan sampai ke Amerika Serikat. Oleh pihak Otis, Bayu diperintahkan untuk tidak menyentuh lift kecuali bersama Polisi.

Bagi pihak Otis, produsen lift yang terpasang di BI, kejadian tersebut merupakan kejadian luar biasa karena baru pertama kalinya terjadi di dunia dimana pintu lift terbuka secara otomatis dan orang terjatuh ke dalamnya. Bayu menjelaskan, pintu lift tidak mungkin terbuka kecuali dibuka dengan kunci atau dibuka oleh roll yang melekat pada kotak lift yang artinya kotak lift ada saat pintu terbuka.

DI RS Akademis, kondisi Djaniba berangsur baik. Dia bahkan sempat menyebutkan satu nama, Subadi Gaffa, karyawan Logistik BI yang memegang kunci lift. Namun, setelah dua hari dirawat di ruangan ICCU, Djaniba tiba-tiba dipindahkan ke ruangan lain oleh tim medis tanpa sepengetahuan keluarganya. Saat keluarga mempertanyakan kepindahan tersebut kepada tim medis, mereka hanya mengatakan bahwa hal tersebut atas permintaan pihak BI.

Beberapa jam kemudian, setelah dipindahkan, Djaniba ternyata meninggal dunia. Tidak terima dengan kematian Djaniba yang tidak wajar, keluarga melaporkan peristiwa tersebut kepada Polisi.

Polisi kemudian membentuk Tim Penyidik yang melakukan autopsy atas mayat Djaniba dan juga rekontruksi kejadian di gedung BI. Hasil autopsy menemukan bahwa sekujur tubuh Djaniba dipenuhi luka lebam dan memar; kaki kirinya patah dan terdapat bekas suntikan di belakang lehernya, serta bekas cakaran di kedua lengannya. Setelah di-autopsy, jenazah Djaniba di bawah keluarganya ke rumahnya di jalan Muhammad Yamin lalu kemudian dikuburkan di Pemakaman Islam Sudiang Makassar.

Untuk rekonstruksi kejadian, Pihak BI dalam Berita Acara Pemeriksaannya menyatakan kejadian tersebut sebagai kecelakaan kerja. Pihak BI menganggap lift bermasalah sehingga menyebabkan Djaniba terjatuh ke dalamnya.

Bayu (Teknisi Otis), membantah BAP pihak BI tersebut. Bayu tetap bersikukuh bahwa lift tidak bisa terbuka kecuali oleh dua: kunci dan roll pada kotak lift. Pihak Otis sendiri sudah menyiapkan pengacara jika barang produksinya dianggap bermasalah.

Polisi bersama Bayu (teknisi Otis) melakukan pemeriksaan terhadap pintu lift, apakah bisa terbuka secara otomatis atau tidak. Hasilnya: setelah diperiksa puluhan kali, pintu lift tidak bisa terbuka.     

Bagaimana dengan rekaman alat CCTV? Teknisi BI mengaku alat CCTV tidak berfungsi saat kejadian karena kondisi mati lampu.


DALAM perjalanan kasus ini, polisi menetapkan Subadi Gaffa sebagai tersangka, bukan dengan dakwaan membunuh, tapi karena tindakan lalai dalam melakukan pekerjaan sehingga menghilangkan nyawa seseorang (pasal 359 KUHP). Artinya, polisi menganggap kematian Djaniba sebagai kecelakaan, bukan pembunuhan. Polisi beralasan tidak mau gegabah dalam menetapkan keputusan tanpa saksi dan bukti yang kuat. 

Saat ini Subadi Gaffa telah pensiun dari BI dan menetap tenang di rumah besarnya di Kompleks Hartaco Indah Makassar.

Melihat ketidakjelasan penanganan kasus ini, pihak keluarga Djaniba kemudian meminta bantuan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Tujuannya, agar kasus ini dikawal sampai tuntas.

Sekarang, sejak 4 Juli 2008, empat tahun lebih kasus kematian Djaniba tersebut terbengkalai. Belum ada keputusan pasti dari para penegak hukum, apakah Djaniba dibunuh atau kecelakaan. Keluarga Djaniba sendiri saat ini tidak pernah lagi terdengar geliatnya dalam menindaklanjuti kasus kematian Djaniba. Menurut informasi, mereka mendapat santunan yang cukup besar dari pihak BI.