Sabtu, 22 Oktober 2011

Kampung Lembanna

MALAM menyambut kami di Lembanna. Mobil yang mengantarkan kami berhenti tepat di pertigaan jalan kampung itu. Suasana gelap dan sunyi. 'Tak terdengar lagi aktifitas penduduk. Hanya terdengar ringkikan serangga malam dan gonggongan anjing yang keras memecah keheningan. Suasana malam yang khas ala kampung.

Kampung Lembanna [foto: Indra Moehammad]

Lembanna adalah kampung di lereng gunung Bawakaraeng. Berjarak sekira 10 kilometer dari Malino, kota wisata puncak yang masuk dalam wilayah Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Dapat ditempuh sekira tiga jam perjalanan dari Makassar dengan berkendaraan darat ke arah selatan.

Kami turun dari mobil dengan masing-masing menenteng kerel. Kami datang dari Makassar. Rencananya, esok pagi, kami akan mendaki Bawakaraeng untuk dokumentasi foto dan video. Setelah semua beres, mobil yang kami tumpangi pun berbalik arah lalu pergi, hilang di balik kegelapan.

Kami kemudian melangkahkan kaki ke sebuah rumah tepat di siku pertigaan. Abe mengetuk pintu rumah sambil mengucapkan salam. 'Tak lama, pria pemilik rumah membuka pintu. Tata' Rapi nama pria itu. Badannya kekar, rambut dan kumisnya hitam pekat.

Tata' Rapi [foto: Indra Moehammad]
Tata' Rapi adalah warga asli Lembanna. Sehari-hari dia bekerja sebagai tukang kebun. Terkadang dia juga menemani turis asing yang ingin mendaki Bawakaraeng. Baru-baru ini, dia berhasil membawa 15 turis asal Belanda ke puncak Bawakaraeng.

Tata' bukanlah nama, tapi sebutan bagi orang tua di Lembanna. Untuk menghargai, untuk menghormati.

Kami menginap di rumah Tata' Rapi, rumah yang juga menjadi basecamp Kelompok Pecinta Alam Kalpataru SMAN 1 Makassar. Rumah Tata' Rapi cukup sederhana, hanya terdiri dari beberapa ruangan inti berukuran kecil. Kami menempati ruang tamu bagian depan, cukuplah menampung tubuh besar kami berlima dan semua kerel.

Lelah menempuh perjalanan dari Makassar, rasa lapar menyergap kami. Mie instan panas menjadi pilihan yang tepat, terlebih suhu sangat dingin menusuk tubuh. Ahmad dan Idho bertindak sebagai koki masak.

Memasak terasa cukup berat karena kami harus menggunakan kayu yang ditiup-tiup terlebih dulu melalui lubang bambu agar apinya menyala. Karena tidak terbiasa, mata kami pedih terkena asapnya. 'Tak lama, mie instan pun tersaji panas. Kami melahapnya dengan ganas. Seperti sekawanan buaya yang memakan mangsanya beramai-ramai.

Selepas makan, asap rokok mengepul dari mulut teman-teman. Membentuk guratan putih abstrak di antara cahaya senter yang memberikan keremangan. Lembanna malam itu mati lampu total, kena pemadaman bergilir dari PLN.

Kantuk menyerang kami kemudian. Beralaskan matras, sarung dan sleeping bag, kami tidur berjejeran, saling menyikut. Suara hujan deras yang menghantam atap rumah Tata' Rapi mengiringi tidur kami.

PAGI cahaya cukup cerah. Matahari menyebarkan sinarnya dengan sempurna. Masuk ke sela-sela jendela rumah Tata' Rapi dan menerpa tubuh kami. Kami pun terjaga.

Di luar, kabut putih menggumpal. Riang berarak mengiringi gadis desa yang berjalan membawa senyumannya. Suara unggas-unggas juga riuh beradu dengan suara penduduk yang beraktifitas. Tampaklah bagi kami suasana Lembanna yang sesungguhnya.

Lembanna terbilang kampung yang maju. Beragam fasilitas sudah tersedia di kampung ini: listrik, air, transportasi, komunikasi dan informasi. Hampir setiap rumah memiliki televisi dan sebagian penduduk terlihat sudah cakap menggunakan ponsel.

Namun sayang, kampung ini masih kekurangan sarana pendidikan. Sekolah hanya tersedia sampai SMP, sementara SMA hanya tersedia di Malino. Jarak yang cukup jauh membuat sebagian anak putus sekolah, termasuk Neni, anak sulung perempuan Tata’ Rapi.

Kata Herman, senior Korpala Unhas dan pemerhati kampung Lembanna, keluhan perihal kurangnya sarana pendidikan di Lembanna telah disampaikan kepada pemerintah yang berwenang; bahkan langsung kepada pejabat terkait. Realisasinya, tinggal menunggu waktu saja. Semoga!

Jumat, 21 Oktober 2011

Semalam Sehari di Malaysia

KAMI memasuki Malaysia melalui Singapura pada Kamis malam, 3 Februari 2011, dengan berkendaraan bis. Melewati jembatan dengan panjang sekira 5 kilometer. Jembatan itu bernama link 2 . Ada dua jembatan yang menghubungkan Singapura-Malaysia: link 1 dan link 2. Keduanya didesain dengan gaya eropa, tampak kuat dan tahan lama.

Seperti di Singapura, di Malaysia kami juga harus menghadapi Imigrasi yang cukup ketat. Kami harus antri satu persatu untuk pemeriksaan paspor. Meskipun kantor Imigrasi Malaysia cukup besar, namun satu hal yang kurang menurut kami: toiletnya sangat bau, sepertinya cukup lama tidak dibersihkan.

Gedung-gedung pencakar langit di Malaysia
Johor adalah kota pertama yang kami lalui di Malaysia karena memang berbatasan langsung dengan Singapura. Satu-dua gedung tinggi terlihat berdiri megah di kota ini: mall Giant, Maybank, dan lainnya. Pemerintah Malaysia memang menerapkan pembangunan merata hingga daerah perbatasan. Tidak seperti pemerintah Indonesia.

Kami singgah di Johor untuk makan malam. Kami makan di sebuah restoran yang menyajikan makanan khas Sunda, Saung Sunda Sawargi.

Selepas makan, kami melanjutkan perjalanan menuju kota tujuan utama kami, yaitu Kuala Lumpur. Jarak antara Johor dan Kuala Lumpur sekira 5 jam perjalanan. Kami melalui perjalanan ini dengan tidur pulas.

Sekira pukul 03.00 subuh, kami tiba di Regency Hotel, Kuala Lumpur. Hotel ini terletak di Kampung Baru, di kawasan pasar Cau Kid. Kampung baru adalah tanah yang dihadiahkan Raja Sultan Selangor keturunan Bugis kepada orang-orang Melayu yang merantau dari pulau Sumatera. Oleh orang Sumatera, tanah itu kemudian dikembangkan hingga maju seperti saat ini. Cau Kid sendiri adalah saudagar terkenal keturunan Cina. Saking terkenalnya, namanya diabadikan menjadi nama sebuah pasar.

Dari jendela kamar Regency Hotel, kami bisa melihat sebagian keadaan kota Kuala Lumpur: kemegahan gedung-gedung tinggi, jalur-jalur bis monorel, jalanan yang rapi dan lainnya. Cukup menakjubkan!

Istana Negara
JUMAT pagi, 4 Februari 2011, sekira pukul 09.00, kami memulai jalan-jalan berkeliling kota Kuala Lumpur. Tujuan pertama kami adalah Istana Negara Malaysia.

Istana Negara Malaysia berdiri di atas lahan seluas 11,34 hektar. Didirikan dengan biaya sekira 150 ribu dollar. Dahulunya, hanya sebuah rumah panggung kecil, tapi kemudian berkembang menjadi istana yang sangat megah. Istana ini sempat diduduki oleh penjajah Inggris dan Jepang sebelum dikuasai penuh oleh Malaysia pada 27 Agustus 1957.

Di depannya berdiri dua orang penjaga Istana dengan kuda tunggangannya. Keduanya menjaga pintu gerbang setinggi 3 meter dengan dua kubah mini di kanan-kirinya.

Dataran Merdeka yang rapi
Dataran Merdeka yang bersih
Perjalanan selanjutnya, kami menuju Dataran Merdeka, sebuah lapangan luas yang rumputnya terjaga. Dataran Merdeka adalah saksi kemerdekaan Malaysia pada 30 Agustus 1957. Di lapangan ini, di sebuah tiang setinggi 50 meter, bendera Inggris diturunkan kemudian diganti dengan bendera Malaysia.

Kantor Kementerian
Di depan Dataran Merdeka, berdiri kantor Kementerian Kebudayaan, Kesenian dan Warisan Malaysia yang bergaya arsitektur India dan di kirinya berdiri Perpustakaan Negara Malaysia yang cukup besar dan megah.

Setelah puas melihat Dataran Merdeka, kami melanjutkan perjalanan dengan mengunjungi sebuah toko Cokelat. Toko ini menjual cokelat khas Malaysia. Kelebihan cokelat Malaysia adalah cokelatnya lebih banyak dari susunya. Bentuknya pun unik, ada yang berbentuk gedung Petronas, berbentuk hati, dan sebagainya.

Dari toko cokelat, kami makan siang di sebuah restoran sederhana yang menjual makanan dengan gaya prasmanan ala Jawa. Pemiliknya orang Jawa asli.

Di Kuala Lumpur, kami bisa berjalan-jalan dengan lancar, sebab lalu lintas di kota ini cukup rapi, lancar dan aman, baik bagi pengguna kendaraan maupun pejalan kaki. Rambu-rambu lalu lintas dan lampu merah juga berfungsi dengan baik.

Gedung Kembar Petronas
Selepas makan siang, kami melanjutkan kembali perjalanan. Kali ini menuju gedung kembar Petronas yang sangat terkenal di dunia. Gedung ini milik perusahaan energi Malaysia, Petronas, yang dibangun di atas lahan yang dulunya merupakan lapangan untuk pacuan kuda.

Gedung setinggi 88 lantai ini dikerjakan oleh dua kontraktor asal dua negara: Jepang dan Korea, masing-masing mengerjakan satu gedung. Gedung Petronas saat ini menjadi ikon kemajuan Malaysia.

Pada sore hari, kami menuju Genting Highland yang terletak di ujung bukit setinggi 2.100 meter di atas permukaan laut. Genting Highland layak disebut kawasan hiburan dengan konsep one stop entertainment. Kenapa? Karena semua jenis hiburan ada di sini: casino, wahana permainan, mall megabesar, restoran, hotel dan lainnya. Puluhan ribu orang memadati kawasan ini setiap harinya dengan pendapatan perhari mencapai milliaran dalam hitungan rupiah.

Kami menuju gedung utama Genting Higland dengan menggunakan gondola yang berjalan 10 km dengan tali listrik. Dari dalam gondola, kami bisa menikmati kawasan bukit yang ditumbuhi berbagai tanaman: kakao, kopi, pisang, dan lainnya. Gedung Genting Highland yang berada di puncak bukit juga terlihat jelas dari gondola. Kabut tipis menutupi bagian atas gedung.

Gedung utama Genting Highland di atas bukit

Genting Highland didirikan oleh intelektual Cina, Lim Goh Tong. Dia adalah seorang ahli telekomunikasi. Pada saat mengerjakan proyek menara telekomunikasi, dia melihat sebuah bukit yang tinggi. Dari situ, dia terinspirasi untuk membuat kawasan hiburan di atas bukit itu. Tujuannya sebagai tempat melepas penat orang-orang kota pada akhir pekan.

Pada 1960-an, dimulailah pembangunan proyek tersebut hingga berdiri megah seperti saat ini. Hebatnya, Genting Highland dijalankan dengan menggunakan listrik yang dibangun sendiri tanpa mengganggu listrik negara.

Gedung dan bukit tersebut menjadi hak milik Lim Goh Tong dan keluarganya. Orang-orang yang ingin mengganggu bukit atau memanfaatkannya akan ditembak mati. Kini, Lim Goh Tong telah wafat. Pengelolaan Genting Highland dikendalikan penuh oleh anak-anaknya.

Puas menikmati kota kecil Genting highland, kami melanjutkan dengan makan malam di sebuah restoran di dekat Genting Highland. Gedung Genting Highland di atas bukit masih terlihat dari restoran ini dengan kerlap-kerlip lampunya. Cukup indah, menyerupai gunung merapi yang bereaksi dengan larvanya.

Selepas makan malam, kami melanjutkan perjalanan kembali ke kota Johor untuk menginap di salah satu hotel di sana, Selesa Hotel, sebab esok harinya kami akan berjalan-jalan ke Singapura.

Melihat Kemajuan Singapura

KAMI masuk ke Singapura melalui Batam pada Kamis sore, 3 Februari 2011, sekira pukul 05.00 petang. Menggunakan kapal Ferry berukuran sedang yang kalau ombak sedang kencang, keadaannya cukup menegangkan. Lama perjalanan yang kami tempuh kurang-lebih 45 menit.

Jajaran gedung megah di Singapura
Hampir tiba di Singapura, tampak samar dari jauh gedung-gedung yang menjulang tinggi. Semakin dekat semakin terlihat jelas, menakjubkan! Gedung-gedung itu adalah simbol kemajuan Singapura.

Merapat ke pelabuhan, mata kami tertuju pada kerlap-kerlip cahaya belasan gondola yang menggantung di tali listrik. Gondola-gondola itu adalah salah satu wahana Sentosa Resort, kawasan hiburan andalan Singapura.

Pada 1983, satu dari gondola itu jatuh dan menewaskan satu keluarga kecuali seorang bayi kecil. Bapak dari bayi itu yang kebetulan tidak ikut kemudian mendapatkan uang asuransi dari pemerintah Singapura sebesar 2 juta dollar.

Jembatan yang melalui sungai Singapura
Masuk ke pelabuhan, kami langsung berhadapan dengan Imigrasi Singapura yang sangat ketat. Kami harus antri satu persatu untuk pemeriksaan paspor dan barang bawaan. Bandingkan dengan Imigrasi Indonesia di Batam yang kalau kita berkelompok, paspor bisa dikumpulkan kepada satu orang lalu diperiksa; yang lain tinggal menunggu saja di tempat duduk sambil merokok dan ungkang-ungkang kaki.

Sekeluar dari pelabuhan, kami dijemput oleh bis pariwisata yang telah disiapkan oleh pihak travel. Kami kemudian dibawa menuju Johor, Malaysia. Esok hari, kami memang akan berkeliling kota Kuala Lumpur lebih dulu, baru pada Sabtu pagi kami berkeliling kota Singapura.

Tata kota Singapura yang rapi dan bersih
SABTU, 5 Februari 2011, kami memasuki kota Singapura setelah menghabiskan sehari sebelumnya di kota Kuala Lumpur, Malaysia. Sekali lagi, kami harus melakukan pemeriksaan paspor dan barang bawaan di Imigrasi Singapura yang sangat ketat.

Saking ketatnya, kami dilarang mengambil gambar apapun. Kamera pengintai juga terpasang di mana-mana. Sekeluar dari Imigrasi, kami langsung berjalan-jalan mengelilingi kota Singapura.

Singapura betul-betul sebuah kota, jadi jangan cari kampung di sini. Ukurannya sangat kecil: dari utara ke selatan hanya berjarak 15 kilometer; dari barat ke timur hanya berjarak 43 kilometer. Cukup kecil, bukan? Dulunya Singapura memang bergabung dengan Malaysia, tapi kemudian memisahkan diri menjadi negara sendiri.

Meskipun kota Singapura sangat kecil, jangan berpikir untuk bisa mengelilinginya dalam waktu cepat. Kenapa? Jalanan di Singapura didesain satu jalur (one way street), dimana kalau kita ingin melalui jalanan yang sama, kita harus memutar dulu selama 30 menit. Bandingkan dengan jalanan di Indonesia yang kalau kita mau memutar tinggal memotong saja, melanggar aturan rambu-rambu jalan. Bahkan ada yang berani berkendaraan menyusuri jembatan penyeberangan yang seharusnya diperuntukkan bagi pejalan kaki.

Jalanan di Singapura juga sangat rapi, bersih dan teratur. Tidak macet, kotor dan semrawut seperti jalanan di Indonesia. Bis yang kami tumpangi pun bisa berjalan dengan lancar, tanpa hambatan. Rambu-rambu jalan dan lampu merah berfungsi dengan sangat baik, sehingga memberikan keamanan dan kenyamanan bagi para pengguna jalan, baik yang berkendaraan maupun pejalan kaki.

Ukuran kota yang kecil juga tidak membuat pemerintah Singapura mengabaikan kehijauan kota. Bayangkan, 40 persen wilayah Singapura adalah pebukitan yang ditumbuhi pepohonan, sisanya adalah perumahan, perkantoran, sekolah dan kawasan industri.

Pohon-pohon yang tumbuh di Singapura diimpor dari Malaysia, Thailand, termasuk Indonesia. Sejauh mata memandang, pohon-pohon tertata dengan sangat rapi dan cukup memberikan oksigen segar yang maksimal.

Pemerintah Singapura juga sangat higienis dalam mengelola sumber dayanya. Air, misalnya, diusahakan sehemat mungkin penggunaannya. Air di tempat umum penggunaannya memakai sensor sehingga tidak bisa digunakan seenaknya, melainkan hanya seperlunya.

Gedung megah di sekitar sungai Singapura
Bahkan kalau kita kencing di Singapura, itu berarti kita telah menyumbangkan 10 persen air bagi warga Singapura. Air kencing di Singapura didaur ulang dengan menggunakan teknologi e-water. Luar biasa!

Tanah lain lagi, tanah di Singapura dimiliki penuh oleh pemerintah. Setiap orang atau kelompok hanya memiliki hak guna selama waktu yang ditentukan. Setelah itu, tanahnya akan diambil alih oleh pemerintah; bangunannya dibongkar.

Begitu pula dengan manusia, juga diatur eksistensinya. Setiap suami-istri hanya diperbolehkan memiliki dua anak atau tiga paling maksimal. Kalau lebih dari itu, tidak akan ditanggung oleh pemerintah dan dijamin anak itu tidak akan mendapatkan pekerjaan.

Untuk perumahan, kebanyakan rakyat Singapura tinggal di rumah susun. Penghematan lahan pun bisa berjalan karena warga hidup di tempat yang vertikal ke atas. Meskipun begitu, terdapat juga kawasan rumah elit yang ekslusif. Beberapa orang kaya dan terkenal Indonesia diketahui memiliki rumah elit itu, di antaranya Abu Rizal Bakrie (Bakrie Group), Aksa Mahmud (Bosowa Group), dan Amin Syam (mantan Gubernur Sulawesi Selatan).

Sekira 70 persen penduduk Singapura adalah orang Cina, 20 persen orang Melayu, 5 persen orang India dan 5 persennya lagi eurasia, perpaduan antara orang eropa dan asia. Beragamnya penduduk tersebut menyebabkan beragamnya agama di Singapura. Ada Budha, Konghucu, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Shikh, dan yang tidak memiliki agama juga ada.

Patung Mama Singa berlatar Gedung Perahu Merlion Park
WELCOME to The Fine City adalah jargon Singapura. Jargon itu bukan berarti kota yang baik, tapi kota yang penuh dengan denda dan pajak. Anda merokok sembarangan, akan dikenakan denda sebesar 400 dollar. Anda berkendaraan pribadi, siapkan saja 70 dollar perhari untuk bayar parkir, tol, dan lainnya. Bahkan pada saat Anda mati, keluarga Anda harus membayar 600 dollar untuk kuburan Anda. Kalau jasad Anda dibakar, lebih mahal lagi, 1.200 dollar. Mungkin kalau ini diterapkan di Indonesia, masyarakatnya sudah demonstrasi di mana-mana dan rusuh.

Patung Mama Singa, ikon Singapura
TEMPAT pertama yang kami kunjungi di Singapura adalah patung Mama Singa, patung kepala singa bertubuh ikan duyung. Patung berwarna putih ini sangat terkenal di seluruh dunia dan menjadi ikon Singapura. Terletak di pinggir sungai Singapura; dikelilingi bangunan-bangunan megah: Maybank, HSBC, Pullerton Hotel, dan lainnya.

Gedung Durian Esplanade
Gedung Perahu Merlion Park

Dari tempat patung Mama Singa, juga terlihat di seberang sungai Singapura sana bangunan gedung durian Esplanade dan gedung perahu Merlion Park yang sangat eksotik, berestetika tinggi. Esplanade adalah tempat pertunjukan yang menurut informasi menjadi tempat pertemuan pertama antara Krisdayanti dan Raul Lemos. Merlion Park adalah gedung tempat perbelanjaan, hotel dan casino.

Beberapa turis menikmati suasana dengan menggunakan perahu wisata yang melintasi Sungai Singapura. Dari senyum yang mengembang di wajah turis-turis itu, tampak mereka sangat puas dan menikmati suasana yang ada. Singapura memang layak menjadi tempat tujuan wisata.

Perahu wisata di Sungai Singapura
Selepas dari melihat-lihat patung Mama Singa, kami kemudian makan siang di sebuah restoran dalam mall, Dewi Sartika. Makanan di restoran ini khas sunda, sangat enak. Pemiliknya orang Indonesia asli.

Setelah makan, kami melanjutkan dengan salat berjamaah di masjid Al Falah, masjid yang dari depan berbentuk ruko. Cukup enak dipakai untuk beribadah karena tempat bersucinya bersih; begitu pula tempat salatnya, sejuk dan luas.

Pada siang hari, kami mengunjungi Sentosa Resort, kawasan hiburan yang konsepnya hampir serupa dengan Genting Highland Malaysia, one stop entertainment. Sarananya juga sama: mall, restoran, café, hotel, casino, wahana permainan Universal Studio dan lainnya. Di Sentosa Resort ini juga terdapat patung Bapak Singa yang menyerupai patung Mama Singa.

Sore harinya, kami kembali ke Batam menggunakan kapal Ferry Pacific milik Singapura. Di pelabuhan kapal, sebelum berangkat, ‘tak lupa kami singgah di toko pernak-pernik Singapura yang termurah. Toko yang dikenal karena barang-barangnya yang dijual paket: 10 dollar 3 barang, meskipun sebenarnya barang-barang tersebut juga dijual di Batam dan harganya lebih murah.

Ketika kapal Ferry perlahan melaju meninggalkan pelabuhan, tampak bangunan kondominium mewah dekat pelabuhan. Bentuknya minimalis, harganya mahal. Pemilik kondominium itu, menurut informasi, 60 persen adalah orang-orang Indonesia.

Singapura maju, Indonesia tertinggal. Anehnya, orang Indonesia banyak yang berinvestasi di Singapura. Fenomena yang menjadi sebuah pertanyaan memang.